Pages

Wednesday, April 09, 2014

Demi Sebuah Mimpi

(An Experience and Insvirative Story)
            Mimpi adalah kunci, Untuk kita menaklukan dunia…
            Berlarilah tanpa lelah, Sampai engkau meraihnya…
(Lirik lagu “laskar pelangi” - Nidji)
            Dendang lagu ini seakan sudah tidak asing lagi di telingaku. Liriknya begitu  selaras menggambarkan titik awal dimana langkah  perjuanganku meraih sebuah impian dimulai. Ya, Berawal dari sebuah mimpi, segala bentuk cita-cita pasti bisa dicapai, asalkan berani  berusaha sekuat tekad perjuangan demi meraihnya.
Dan tulisan ini adalah sebuah kisah singkatku dalam upaya untuk bisa kuliah di belahan bumi Timur Tengah. Dimana ilmu syari’at Islam berikut penerapannya senantiasa mengalir berkesinambungan. Khazanah Islampun terasa masih jernih dan menyejukan para penuntutnya, serumpama air minum segar yang diteguk langsung dari sumber mata airnya. Murni segarnya.
Ketika mendengar Lagu itu, aku teringat pada waktu training motivation terakhir bersama guru motivator kebanggaan, Ust. Nur Fauzan, Lc. di Gelanggang Olahraga (GOR) Pon. Pes. Al Hikmah - Bumiayu. Lagu itu dilantunkan oleh beberapa siswi Malhikdua (Madrasah Al Hikmah 2, sekolahku dulu) yang ditunjuk kedepan untuk menyanyikannya. Gema gempita suaranya membahana dan menulusuri setiap celah telinga kerumunan siswa-siswi kelas akhir yang duduk berjejeran di lantai dengan setia menyaksikannya. Memang acara trainning itu biasa digelar oleh Malhikdua mengingat masa depan anak didik yang perlu dimotivasi agar menjadi generasi terbaik masa depan bangsa.
   " Serukan dengan lantang apa Universitas yang ingin kalian tuju setelah lulus! ", pekik Ust. Fauzan menyemangati seluruh murid kelas akhir.
Kala itu, akupun segera berteriak sekeras mungkin dengan menyebut-nyebut universitas di Timur Tengah yang menjadi cita-citaku. “ Damasyqi University… Dimasyqi University…”, berkali-kali suaraku menggema di tengah GOR bersama ratusan teman lainnya. Padahal sebenarnya,  aku sendiri belum begitu mengenal seperti apa Universitas Damaskus itu. Yang jelas, aku mengaguminya karena kharismatik ulama-ulama Syam yang hingga kini mendunia seperti yang telah dituturkan Ustad Muhyidin, guru Tafsirku yang jebolan alumni negeri tersebut. Dan mulai detik itu, impianku adalah “Just Study in Middle East Country”, lanjutkan kuliah di Timur Tengah”
Negeri Paman Syam dalam Imajinasi Impian Pertama
Kuliah di Timur Tengah tidaklah semulus memasukan kunci ke dalam motor lalu bisa berangkat seenaknya. Tentulah ada halang rintang yang harus dilewati. Rencana pertamaku adalah mentargetkan negara Suriah lewat beasiswa Departemen Agama.  Seandainya itu tidak bisa tembus, mungkin aku mencoba pilihan kedua, ikut test universitas Al Azhar, Mesir yang non beasiswa. That’s my choise.
Namun rintangan itu bermula muncul dari intern keluargaku. Begitu mendengar keinginanku tadi, Ibu sangat mendukungku dengan sepenuh hati. Sayangnya, Ayahku belum bisa menerima permohonanku itu. Ia serta merta malah menyuruhku untuk kuliah di dalam negeri saja. Batinku seakan terpukul. Cita-citaku sepertinya akan dihadang angin kencang. Tinggal bagaimana aku harus mengambil langkah terbaiknya.
            Sampai detik kelulusanku, Ayah masih tetap kurang setuju. Terbukti, Di tengah acara pengambilan surat kelulusan di sekolah pondok pesantrenku, akupun hanya sendirian, berbeda dengan khalayak siswa-siswi lainnya yang besanding dengan keluarga mereka menyambut kebahagiaan sang buah hatinya. Akan tetapi, hal itu tidak membuat aku putus harapan, masih ada sinar mentari yang setia menemani langkahku.
Setelah kelulusan, aku segera mencari info beasiswa negara-negara Timur Tengah yang bisa diakses melali internet. Beberapa peluang beasiswa berhasil aku temukan, diantaranya Beasiswa Ma'had Dauly lil Ulum as Syar'iyyah wal Lughoh 'Arobiyyah di Suriah, Universitas Al Azhar Mesir non-beasiswa melalui Departemen Agama, Beasiswa Sudan dan Maroko. Namun sayang, informasi Beasiswa Universitas Damaskus, Suriah nihil aku dapatkan. Hanya ada beasiswa ma’had yang notebene non-degree. Akhirnya aku putuskan untuk mencobanya saja walaupun Ma’had ( sistem pesantren) yang penting bisa ke Suriah. Mungkin dari situ, Universitas Damasqus bisa aku kunjungi juga.
Beasiswa Mesir Tak Kunjung Tiba Bersama Prahara Suriah dalam Simfoni.
Sebenarnya, sebelum aku memilih untuk mencari beasiswa Universitas Damaskus, aku sudah terlebih dahulu mencoba daftar dan mengikuti test beasiswa Universitas Al Azhar yang di sediakan Sifaroh (Kedutaan Besar) Mesir di Indonesia sebulan sebelum Ujian Nasional. Dengan beberapa ikhwan dan akhwat seangkatanku, aku mengikuti test yang bertempat di kediaman Kedutaan Besar Mesir, Jl. Teuku Umar No. 68 Menteng, Jakarta Pusat dengan ditemani oleh Ustadz pembimbing.
            Hanya bermodalkan Bahasa Arab dan Hafalan Qur'an yang baru 5 juz, aku memberanikan tekad mengikuti test yang berhadapan langsung dengan guru-guru dari Mesir. Harapan hanyalah sebuah harapan, tidak bisa terwujud melainkan atas kehendak Sang Maha Kuasa. Dan ternyata, setelah beberapa bulan memang pengumuman kelulusan beasiswa Kedubes Mesir seolah raib termakan angin, tidak ada kabar dan informasi selanjutnya, entah kemana dan mengapa? Aku tidak tahu.
Dari situ, aku lantas memilih langkah alternative berikutnya, Syiria atau Suriah. Aku tidak hanya sendiri, tapi aku juga mengajak beberapa teman seangkatan untuk ikut daftar bahkan aku sendiri yang mengkoordinir proses registrasi dan kelengkapannya  lalu diserahkan ke Kantor Direktorat Pendidikan Diniyyah dan Pondok Pesantren (Ditpdpontren) di Gedung Kementerian Agama Pusat- Jakarta. Sayangnya, Beasiswa itu non-degree, yaitu berupa program study beasiswa 4 tahun bagi santri pesantren di Ma'had Dauly li Ulumi as Syari’ah wal ‘Arobiyyah, Syiria. (Ma’had Internasioanl untuk Study Ilmu Syari’ah dan Bahasa Arab) yang diadakan oleh Kementerian Wakaf Republik Arab Syiria.
Setelah ketujuh peserta Al Hikmah mengikuti Test di Kanwil Depag Semarang, seminggu berikutnya pengumuman hasil ujian dimuat secara online di internet. Berita bahagia itu tersiar lewat tulisan dalam bentuk tabel yang menyatakan semua peserta santri Pon. Pes. Al Hikmah lolos beasiswa Ma’had Dauly tersebut. Kabar itu sampai terdengar di telinga guru-guru dan kepala madrasah. Sampai akhirnya, kami bertujuh dipanggil KH. Mukhlas Hasyim, MA, sebagai bapak kepala Malhikdua. Ketika itu, aku yang sebagai koordinator teman-teman berhalangan sedang mengurusi acara Haflah Khotmil Qur’an 2011. Jadinya, aku tidak tahu adanya pemanggilan itu. Yang jelas, isi dari maksud dipanggilnya kami bertujuh adalah melarang keras melanjutkan study di Suriah. Alasan utama Abah Mukhlas melarang kami yaitu karena Suriah merupakan negara monarki yang sangat otoriter. Penguasanya adalah rezim sang raja yang absolut. Militerpun wajib patuh pada setiap perintahnya yang mengandung unsur Syi’ah. Walaupun Negaranya bermayoritas Sunni, tapi kepemimpinan orang Syi’ah bisa memonopoli laju kehidupan disana. Sering terjadi pembunuhan masal, pengeboman, perang antara penduduk dan tentara militer, dan banyak lagi kebiadaban pemerintah yang tidak sampai terekspose media. Akhirnya, kami pun manut dan meng-cancel beasiswa untuk ke Suriah itu, mengingat kekhawatiran beliau demi keamanan anak-anak didiknya.
Bepetualang Demi Peluang Study di Negeri Seribu Benteng
Ibuku yang percaya penuh pada keinginan dan kemampuanku merasakan kegalauan sang buah hatinya. Dimana aku masih terombang-ambing mau kuliah kemana?. Konflik keluargapun kerap terjadi antara ibu yang penuh mendukungku study ke Timur Tengah dan ayah yang masih serta merta menginginkaku kuliah di dalam Negeri saja. Aku sendiri belum mendapat pencerahan kemana masa depanku untuk kuliah di Timur Tengah?
            Kemudian Ibuku menyarankanku untuk pergi ke Surabaya, guna meminta rekomendasi dari KH. Asep Saefullah, Pengasuh Pon. Pes. Amanatul Ummah, Surabaya yang biasa memiliki relasi untuk beasiswa Maroko. Mungkin beliah bisa membantu karena sama-sama dari asli pribumi desaku. Hal seperti ini pernah juga dilakukan oleh seorang tetangga perempuan yang juga kakak kelasku. Dan akhirnya berhasil berangkat ke Maroko. 
Dengan ditemani seorang ustadz kerabat Kyai Asep yang tinggal dekat rumahku, aku  pun mengindahkan anjuran Ibu. Segala keperluan telah Ibuku siapkan dari perbekalan, ongkos dan uang pegangan untuk kami berdua. Aku tinggal di pondoknya Kyai Asep sampai satu mingguan. Di tengah kesibukan Kyai Asep, aku akhirnya dipertemukan dengannya. Beliau berkata, “ Man, nek kepingin marang Maroko melalui jalur pondok iki  yo kudu ngabdi desek sataun bari ngenteni proses legalisasi Ijazah karo persyaratan-persyaratane”. Akupun hormat dan ta’dzim pada penuturannya. Namun bagiku, mengabdi satu tahun di Surabaya bagiku terasa berat dan belum tentu kedua orang tuaku bisa mengizinkannya. Sementara aku sendiri ingin segera berkuliah.
The Spirit of Yemen
            Dalam perjalanan kereta dari Surabaya menuju pulang, aku duduk termenung. Kedua bola mataku mengkristalkan air mata, maratapi nasib kemana aku harus melangkah. Hatiku gundah. Namun sekilas aku terbesit, Negara Yaman. Ya, program beasiswa Yaman belum aku coba, aku terpikir sejenak tentang Gus (Putra Kyai) Pon. Pes. Al Hikmah yang merupakan alumni Yaman. Tak ada salahnya aku mencoba. Lantas perjalanan pulangku menuju rumah aku urungkan, segera aku berkirim SMS kepaada Ibu bahwa aku akan pulang ke pesantren dulu untuk sowan ke Abah Yai Masrur, Pengasuh Pon.Pes. Al Hikmah, meminta pencerahan beliau tentang kuliah di Negeri Saba’ itu.
Setibanya tengah malam di pesantren, aku dikabari seorang teman bahwasanya telah dibuka test beasiswa Universitas Al Ahgaff Yaman yang bertempat di Bogor. Persyaratannya berupa fotocopy SKHU, Photo berwarna, dan Surat Rekomendasi Pondok Pesantren.
Esok paginya, Aku segera menyiapkan persyaratan dan mendatangi kantor pondok guna meminta dibuatkan surat rekomendasi pada pengurus bagian sekretaris di pondok. Sesaat kemudian aku berjalan kaki memasuki dalem Abah Yai dengan membawa sehelai stopmap berisikan Surat Rekomendasi. Akhirnya, beliaupun merestui dan mendukung sepenuhnya niatku mengikuti test beasiswa Al Ahgaff. Tadinya aku tidak yakin mengikuti test Yaman, tapi pesan Abah Yai Masrur menguatkan niat dan keyakinanku. “ Yaman itu negerinya para wali, disana kamu bisa belajar Fiqih Syafi’I murni dari sumbernya. Niatkan yang suci untuk menuntut ilmu”, tutur beliau. Dan Sore harinya aku langsung bergegas meluncur ke Cipayung, Bogor.
Restu dan do’a guru memang membawa keajaiban. Manakala aku membuka pengumuman dan info test di warnet dekat rumah, Aku tersentak kaget, aku dinyatakan lulus dan layak mendapatkan beasiswa Universitas Al Ahgaff Yaman. Sujud syukur bahagia mendengar berita itu yang dilayangkan langsung dari Pengurus Yayasan Al Ahgaff Indonesia. Aku langsung mengabari ibu dan ayahku di rumah. Mereka berdua bahagia namun tidak sebahagia ayahku yang tetap kurang menyutujuiku. 
Hikmah di Balik Tirai Perjuangan  
            Perjuangan haruslah disertai strategi dan planning alternative. Tanpa adanya itu, usaha bisa jadi akan sia-sia, apalagi ketika seorang langsung putus asa dan lemah harapan. Aku sendiri tidak mengandalkan satu peluang saja, namun aku juga menjajahi beberapa peluang alternatif untuk bisa sampai Timur Tengah meski dengan berbagai halang rintang dan cobaan. Dan semua itu berawal dari tekad yang kuat untuk niat menuntut ilmu.
            Setelah mengikuti test Beasiswa Al Ahgaff, aku juga ikut mendaftar di satu perkuliahan strata Universitas Timur Tengah, namun berdomisili di dalam negeri, yaitu STAI Imam Syafi’I, Cianjur dengan rektor seorang pakar yuridis, Prof. Dr. Muhammad Hasan Hithou. Aku pun memilihnya karena pertimbangan sama seperti halnya kuliah di Timur Tengah dengan basis bahasa Arab dan ilmu syari’at Islam.
            Aku menemui banyak hikmah yang bisa ku petik dari perjuangan ini. Pertama, tidak jelasnya pengumuman Mesir membuat aku sungkan. Ketidak jelasannya itu memang berawal dari manajemen kedubes Mesir yang kurang tertata, ditambah gejolak politik pemerintahannya yang semakin berkecamuk sejak reformasi masa presiden Housni Mubarok kemudian Muhammed Mursi,  hingga banyak menewaskan ribuan korban jiwa. Kedua, Suriah pun sama. aku membatalkan beasiswa Suriah meski sudah dinyatakan lulus. Besar kemungkinan aku akan bernasib sama seperti teman-temanku yang sudah dipulangkan selamanya akibat konflik rezim pemerintahan rajanya, Bashar Asaad. Otortiter pemerintah dan militernya memporak-porandakan rakyat terutama kaum oposisi dan pemberontak hingga korban jiwa pun bergelimpangan dimana-mana, terutama di ibu kota Damaskus yang aku citakan itu. Ketiga, Maroko. Aku tidak mengambil beasiswa dari pondok di Surabaya, karena setelahnya ternyata ada pengumuman beasiswa Maroko lewat Depag RI, dimana syarat utamanya adalah nilai ujian nasional. Sebenarnya, akupun sudah termasuk kriteria persyaratannya, namun aku lebih memilih Yaman setelah pengumuman kelulusannya dilayangkan dan aku malah memberi kesempatan itu untuk temanku yang juga berkeingin kuliah di Maroko.
            Hikmah yang paling utama adalah adanya aku sekarang di Universitas Al Ahgaff Yaman. Aku menemukan cita rasa menuntut ilmu yang baru disini dengan segala rupa keunikan dan kekhasan bumi Hadhramaut, khususnya sebagai tempat asal muasalnya walisongo. Hikmah perjuangan ini sesuai hadits Baginda Rasulullah SAW, “ Al fiqhu yamani wal hikmah yamaniyyah “(Fiqih itu ada pada penduduk Yaman, dan Hikmah terletak pada orang Yaman). HR. Al Bukhori dan Muslim. Wallahu a’lam. #

0 comments:

Post a Comment