(An
Experience and Insvirative Story)
Mimpi adalah kunci, Untuk kita
menaklukan dunia…
Berlarilah tanpa lelah, Sampai
engkau meraihnya…
(Lirik
lagu “laskar pelangi” - Nidji)
Dendang lagu ini seakan sudah tidak asing lagi di telingaku.
Liriknya begitu selaras menggambarkan
titik awal dimana langkah perjuanganku
meraih sebuah impian dimulai. Ya, Berawal dari sebuah mimpi, segala bentuk
cita-cita pasti bisa dicapai, asalkan berani
berusaha sekuat tekad perjuangan demi meraihnya.
Dan
tulisan ini adalah sebuah kisah singkatku dalam upaya untuk bisa kuliah di
belahan bumi Timur Tengah. Dimana ilmu syari’at Islam berikut penerapannya
senantiasa mengalir berkesinambungan. Khazanah Islampun terasa masih jernih dan
menyejukan para penuntutnya, serumpama air minum segar yang diteguk langsung
dari sumber mata airnya. Murni segarnya.
Ketika
mendengar Lagu itu, aku teringat pada waktu training motivation terakhir
bersama guru motivator kebanggaan, Ust. Nur Fauzan, Lc. di Gelanggang Olahraga
(GOR) Pon. Pes. Al Hikmah - Bumiayu. Lagu itu dilantunkan oleh beberapa siswi
Malhikdua (Madrasah Al Hikmah 2, sekolahku dulu) yang ditunjuk kedepan untuk
menyanyikannya. Gema gempita suaranya membahana dan menulusuri setiap celah
telinga kerumunan siswa-siswi kelas akhir yang duduk berjejeran di lantai
dengan setia menyaksikannya. Memang acara trainning itu biasa digelar oleh
Malhikdua mengingat masa depan anak didik yang perlu dimotivasi agar menjadi
generasi terbaik masa depan bangsa.
" Serukan dengan lantang apa
Universitas yang ingin kalian tuju setelah lulus! ", pekik Ust. Fauzan
menyemangati seluruh murid kelas akhir.
Kala
itu, akupun segera berteriak sekeras mungkin dengan menyebut-nyebut universitas
di Timur Tengah yang menjadi cita-citaku. “ Damasyqi University… Dimasyqi
University…”, berkali-kali suaraku menggema di tengah GOR bersama ratusan
teman lainnya. Padahal sebenarnya, aku
sendiri belum begitu mengenal seperti apa Universitas Damaskus itu. Yang jelas,
aku mengaguminya karena kharismatik ulama-ulama Syam yang hingga kini mendunia
seperti yang telah dituturkan Ustad Muhyidin, guru Tafsirku yang jebolan alumni
negeri tersebut. Dan mulai detik itu, impianku adalah “Just Study in Middle
East Country”, lanjutkan kuliah di Timur Tengah”
Negeri Paman
Syam dalam Imajinasi Impian Pertama
Kuliah
di Timur Tengah tidaklah semulus memasukan kunci ke dalam motor lalu bisa berangkat
seenaknya. Tentulah ada halang rintang yang harus dilewati. Rencana pertamaku adalah mentargetkan negara Suriah lewat
beasiswa Departemen Agama. Seandainya
itu tidak bisa tembus, mungkin aku mencoba pilihan kedua, ikut test universitas
Al Azhar, Mesir yang non beasiswa. That’s my choise.
Namun
rintangan itu bermula muncul dari intern keluargaku. Begitu mendengar
keinginanku tadi, Ibu sangat mendukungku dengan sepenuh hati. Sayangnya, Ayahku
belum bisa menerima permohonanku itu. Ia serta merta malah menyuruhku untuk
kuliah di dalam negeri saja. Batinku seakan terpukul. Cita-citaku sepertinya
akan dihadang angin kencang. Tinggal bagaimana aku harus mengambil langkah
terbaiknya.
Sampai detik kelulusanku, Ayah masih tetap kurang setuju.
Terbukti, Di tengah acara pengambilan surat kelulusan di sekolah pondok
pesantrenku, akupun hanya sendirian, berbeda dengan khalayak siswa-siswi lainnya
yang besanding dengan keluarga mereka menyambut kebahagiaan sang buah hatinya. Akan
tetapi, hal itu tidak membuat aku putus harapan, masih ada sinar mentari yang
setia menemani langkahku.
Setelah
kelulusan, aku segera mencari info beasiswa negara-negara Timur Tengah yang
bisa diakses melali internet. Beberapa peluang beasiswa berhasil aku temukan,
diantaranya Beasiswa Ma'had Dauly lil Ulum as Syar'iyyah wal Lughoh 'Arobiyyah
di Suriah, Universitas Al Azhar Mesir non-beasiswa melalui Departemen Agama, Beasiswa
Sudan dan Maroko. Namun sayang, informasi Beasiswa Universitas Damaskus, Suriah
nihil aku dapatkan. Hanya ada beasiswa ma’had yang notebene non-degree.
Akhirnya aku putuskan untuk mencobanya saja walaupun Ma’had ( sistem pesantren)
yang penting bisa ke Suriah. Mungkin dari situ, Universitas Damasqus bisa aku
kunjungi juga.
Beasiswa Mesir Tak
Kunjung Tiba Bersama Prahara Suriah dalam Simfoni.
Sebenarnya,
sebelum aku memilih untuk mencari beasiswa Universitas Damaskus, aku sudah
terlebih dahulu mencoba daftar dan mengikuti test beasiswa Universitas Al Azhar
yang di sediakan Sifaroh (Kedutaan Besar) Mesir di Indonesia sebulan
sebelum Ujian Nasional. Dengan beberapa ikhwan dan akhwat
seangkatanku, aku mengikuti test yang bertempat di kediaman Kedutaan Besar
Mesir, Jl. Teuku Umar No. 68 Menteng, Jakarta Pusat dengan ditemani oleh Ustadz
pembimbing.
Hanya bermodalkan Bahasa Arab dan Hafalan Qur'an yang
baru 5 juz, aku memberanikan tekad mengikuti test yang berhadapan langsung
dengan guru-guru dari Mesir. Harapan hanyalah sebuah harapan, tidak bisa
terwujud melainkan atas kehendak Sang Maha Kuasa. Dan ternyata, setelah
beberapa bulan memang pengumuman kelulusan beasiswa Kedubes Mesir seolah raib
termakan angin, tidak ada kabar dan informasi selanjutnya, entah kemana dan mengapa?
Aku tidak tahu.
Dari
situ, aku lantas memilih langkah alternative berikutnya, Syiria atau Suriah. Aku
tidak hanya sendiri, tapi aku juga mengajak beberapa teman seangkatan untuk
ikut daftar bahkan aku sendiri yang mengkoordinir proses registrasi dan
kelengkapannya lalu diserahkan ke Kantor
Direktorat Pendidikan Diniyyah dan Pondok Pesantren (Ditpdpontren) di Gedung
Kementerian Agama Pusat- Jakarta. Sayangnya, Beasiswa itu non-degree, yaitu
berupa program study beasiswa 4 tahun bagi santri pesantren di Ma'had Dauly li
Ulumi as Syari’ah wal ‘Arobiyyah, Syiria. (Ma’had Internasioanl untuk Study
Ilmu Syari’ah dan Bahasa Arab) yang diadakan oleh Kementerian Wakaf Republik
Arab Syiria.
Setelah
ketujuh peserta Al Hikmah mengikuti Test di Kanwil Depag Semarang, seminggu
berikutnya pengumuman hasil ujian dimuat secara online di internet. Berita
bahagia itu tersiar lewat tulisan dalam bentuk tabel yang menyatakan semua
peserta santri Pon. Pes. Al Hikmah lolos beasiswa Ma’had Dauly tersebut. Kabar itu
sampai terdengar di telinga guru-guru dan kepala madrasah. Sampai akhirnya,
kami bertujuh dipanggil KH. Mukhlas Hasyim, MA, sebagai bapak kepala Malhikdua.
Ketika itu, aku yang sebagai koordinator teman-teman berhalangan sedang mengurusi
acara Haflah Khotmil Qur’an 2011. Jadinya, aku tidak tahu adanya pemanggilan
itu. Yang jelas, isi dari maksud dipanggilnya kami bertujuh adalah melarang
keras melanjutkan study di Suriah. Alasan utama Abah Mukhlas melarang kami
yaitu karena Suriah merupakan negara monarki yang sangat otoriter. Penguasanya
adalah rezim sang raja yang absolut. Militerpun wajib patuh pada setiap
perintahnya yang mengandung unsur Syi’ah. Walaupun Negaranya bermayoritas
Sunni, tapi kepemimpinan orang Syi’ah bisa memonopoli laju kehidupan disana.
Sering terjadi pembunuhan masal, pengeboman, perang antara penduduk dan tentara
militer, dan banyak lagi kebiadaban pemerintah yang tidak sampai terekspose media. Akhirnya, kami pun manut dan meng-cancel
beasiswa untuk ke Suriah itu, mengingat kekhawatiran beliau demi keamanan anak-anak
didiknya.
Bepetualang Demi
Peluang Study di Negeri Seribu Benteng
Ibuku
yang percaya penuh pada keinginan dan kemampuanku merasakan kegalauan sang buah
hatinya. Dimana aku masih terombang-ambing mau kuliah kemana?. Konflik
keluargapun kerap terjadi antara ibu yang penuh mendukungku study ke Timur Tengah
dan ayah yang masih serta merta menginginkaku kuliah di dalam Negeri saja. Aku
sendiri belum mendapat pencerahan kemana masa depanku untuk kuliah di Timur
Tengah?
Kemudian Ibuku menyarankanku untuk pergi ke Surabaya,
guna meminta rekomendasi dari KH. Asep Saefullah, Pengasuh Pon. Pes. Amanatul
Ummah, Surabaya yang biasa memiliki relasi untuk beasiswa Maroko. Mungkin
beliah bisa membantu karena sama-sama dari asli pribumi desaku. Hal seperti ini
pernah juga dilakukan oleh seorang tetangga perempuan yang juga kakak kelasku.
Dan akhirnya berhasil berangkat ke Maroko.
Dengan
ditemani seorang ustadz kerabat Kyai Asep yang tinggal dekat rumahku, aku pun mengindahkan anjuran Ibu. Segala
keperluan telah Ibuku siapkan dari perbekalan, ongkos dan uang pegangan untuk
kami berdua. Aku tinggal di pondoknya Kyai Asep sampai satu mingguan. Di tengah
kesibukan Kyai Asep, aku akhirnya dipertemukan dengannya. Beliau berkata, “ Man,
nek kepingin marang Maroko melalui jalur pondok iki yo kudu ngabdi desek sataun bari ngenteni
proses legalisasi Ijazah karo persyaratan-persyaratane”. Akupun hormat dan
ta’dzim pada penuturannya. Namun bagiku, mengabdi satu tahun di Surabaya bagiku
terasa berat dan belum tentu kedua orang tuaku bisa mengizinkannya. Sementara
aku sendiri ingin segera berkuliah.
The Spirit of
Yemen
Dalam perjalanan kereta dari Surabaya menuju pulang, aku
duduk termenung. Kedua bola mataku mengkristalkan air mata, maratapi nasib kemana
aku harus melangkah. Hatiku gundah. Namun sekilas aku terbesit, Negara Yaman.
Ya, program beasiswa Yaman belum aku coba, aku terpikir sejenak tentang Gus
(Putra Kyai) Pon. Pes. Al Hikmah yang merupakan alumni Yaman. Tak ada salahnya
aku mencoba. Lantas perjalanan pulangku menuju rumah aku urungkan, segera aku
berkirim SMS kepaada Ibu bahwa aku akan pulang ke pesantren dulu untuk sowan
ke Abah Yai Masrur, Pengasuh Pon.Pes. Al Hikmah, meminta pencerahan beliau
tentang kuliah di Negeri Saba’ itu.
Setibanya
tengah malam di pesantren, aku dikabari seorang teman bahwasanya telah dibuka
test beasiswa Universitas Al Ahgaff Yaman yang bertempat di Bogor.
Persyaratannya berupa fotocopy SKHU, Photo berwarna, dan Surat Rekomendasi
Pondok Pesantren.
Esok
paginya, Aku segera menyiapkan persyaratan dan mendatangi kantor pondok guna
meminta dibuatkan surat rekomendasi pada pengurus bagian sekretaris di pondok. Sesaat
kemudian aku berjalan kaki memasuki dalem Abah Yai dengan membawa
sehelai stopmap berisikan Surat Rekomendasi. Akhirnya, beliaupun merestui dan
mendukung sepenuhnya niatku mengikuti test beasiswa Al Ahgaff. Tadinya aku
tidak yakin mengikuti test Yaman, tapi pesan Abah Yai Masrur menguatkan niat
dan keyakinanku. “ Yaman itu negerinya para wali, disana kamu bisa belajar
Fiqih Syafi’I murni dari sumbernya. Niatkan yang suci untuk menuntut ilmu”,
tutur beliau. Dan Sore harinya aku langsung bergegas meluncur ke Cipayung, Bogor.
Restu
dan do’a guru memang membawa keajaiban. Manakala aku membuka pengumuman dan info
test di warnet dekat rumah, Aku tersentak kaget, aku dinyatakan lulus dan layak
mendapatkan beasiswa Universitas Al Ahgaff Yaman. Sujud syukur bahagia
mendengar berita itu yang dilayangkan langsung dari Pengurus Yayasan Al Ahgaff
Indonesia. Aku langsung mengabari ibu dan ayahku di rumah. Mereka berdua
bahagia namun tidak sebahagia ayahku yang tetap kurang menyutujuiku.
Hikmah di Balik
Tirai Perjuangan
Perjuangan haruslah disertai strategi dan planning alternative.
Tanpa adanya itu, usaha bisa jadi akan sia-sia, apalagi ketika seorang langsung
putus asa dan lemah harapan. Aku sendiri tidak mengandalkan satu peluang saja,
namun aku juga menjajahi beberapa peluang alternatif untuk bisa sampai Timur
Tengah meski dengan berbagai halang rintang dan cobaan. Dan semua itu berawal
dari tekad yang kuat untuk niat menuntut ilmu.
Setelah mengikuti test Beasiswa Al Ahgaff, aku juga ikut
mendaftar di satu perkuliahan strata Universitas Timur Tengah, namun
berdomisili di dalam negeri, yaitu STAI Imam Syafi’I, Cianjur dengan rektor
seorang pakar yuridis, Prof. Dr. Muhammad Hasan Hithou. Aku pun memilihnya
karena pertimbangan sama seperti halnya kuliah di Timur Tengah dengan basis
bahasa Arab dan ilmu syari’at Islam.
Aku menemui banyak hikmah yang bisa ku petik dari
perjuangan ini. Pertama, tidak jelasnya pengumuman Mesir membuat aku sungkan. Ketidak
jelasannya itu memang berawal dari manajemen kedubes Mesir yang kurang tertata,
ditambah gejolak politik pemerintahannya yang semakin berkecamuk sejak
reformasi masa presiden Housni Mubarok kemudian Muhammed Mursi, hingga banyak menewaskan ribuan korban jiwa. Kedua,
Suriah pun sama. aku membatalkan beasiswa Suriah meski sudah dinyatakan lulus.
Besar kemungkinan aku akan bernasib sama seperti teman-temanku yang sudah dipulangkan
selamanya akibat konflik rezim pemerintahan rajanya, Bashar Asaad. Otortiter
pemerintah dan militernya memporak-porandakan rakyat terutama kaum oposisi dan
pemberontak hingga korban jiwa pun bergelimpangan dimana-mana, terutama di ibu
kota Damaskus yang aku citakan itu. Ketiga, Maroko. Aku tidak mengambil
beasiswa dari pondok di Surabaya, karena setelahnya ternyata ada pengumuman
beasiswa Maroko lewat Depag RI, dimana syarat utamanya adalah nilai ujian
nasional. Sebenarnya, akupun sudah termasuk kriteria persyaratannya, namun aku
lebih memilih Yaman setelah pengumuman kelulusannya dilayangkan dan aku malah memberi
kesempatan itu untuk temanku yang juga berkeingin kuliah di Maroko.
Hikmah yang paling utama adalah adanya aku sekarang di
Universitas Al Ahgaff Yaman. Aku menemukan cita rasa menuntut ilmu yang baru disini
dengan segala rupa keunikan dan kekhasan bumi Hadhramaut, khususnya sebagai
tempat asal muasalnya walisongo. Hikmah perjuangan ini sesuai hadits Baginda
Rasulullah SAW, “ Al fiqhu yamani wal hikmah yamaniyyah “(Fiqih itu ada
pada penduduk Yaman, dan Hikmah terletak pada orang Yaman). HR. Al Bukhori dan
Muslim. Wallahu a’lam. #
0 comments:
Post a Comment