Oleh : Lutfi
Ahsanudin
A.
Pendahuluan
Islam yang notebenya merupakan agama
penyempurna bagi agama-agama sebelumnya telah banyak memainkan perannya di muka
bumi ini dalam konteks History of Religion-nya, sehingga lebih dari dua
pertiga daratan bumi ditemukan masyarakat yang memeluk agama Islam yang dibawa
oleh nabi Muhammad Saw. Bukan dengan cara ikrohan dan unwatan,
akan tetapi dengan cara luthfan dan rahmatan dalam penyebarannya
untuk mengajak bahwa tidak ada tuhan yang pantas disembah kecuali Allah Swt.
Sebelum nabi Muhammad pun syi’ar pengesaan Allah Swt. lewat para utusan-Nya
telah menggema di muka bumi ini, tak terkecuali bumi Hadhramaut yang merupakan
daerah selatan Jazirah Arab.
Menurut
data historis, Hadhramaut merupakan daerah di mana nabi Hud AS diutus untuk
kaum Ad’ yang terkenal akan keperkasaanya. Al-Qur’an menyebutkan Hadhramaut
sebanyak 17 kali dengan nama al-Ahqof yang berarti bukit-bukit pasir atau
lembah pasir. Kaum Ad’ dianggap sebagai populasi manusia pertama di muka bumi
yang menempati Hadramuat. Beribu-ribu sejarah telah terukir di tanah ini sejak
Hadhrmaut kuno yaitu pada masa nabi Hud AS sampai masa hijrahnya keturunan
Rasulullah Ahmad bin Isa yang bergelar al-Muhajir Illahh dari Iraq
karena fitnah ajaran Syi’ah yang berkembang pesat disana. Dari beliaulah Hadhramaut
yang tadinya berkembang pesat aliran Ibadhiyyah, Syi’ah dan Khawarij menjadi
aliran Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dari situlah kehidupan sosial budaya
Islam Ahlussunnah di Hadharamaut sangat ketara berkat tangan handal para wali Allah
dan ulama di bumi tersbut. Dan sampai sekarang Hadhramaut di kenal dengan
wilayah yang mayoritas di huni oleh para habaib atau para keturunan
rasulullah SAW.
B.
Sejarah Singkat Hadhramaut
Pra Islam dan Pasca Islam
Pra
Islam, Hadhramuat merupakan wilayah kerajaan yang sangat di takuti oleh bangsa
lain. Sejak wafatnya nabi Hud AS, Hahdhramut di bawah kerajaan Qahthan yang
masyaraktanya menyembah berhala yang berkuasa sekitar 10-18 abad SM. Dari dinasti
inilah semua keturunan bangsa Arab dan suku Arab di muka bumi ini berasal. Dinasti ini
berasal dari nama seorang keturunan nabi Nuh AS yang bernama lengkap Qahthan
bin ‘Abir bin Syalekh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh. Salah satu anak
keturunannya berjuluk Hadhramaut karena setiap hadir perang dari pihak musuh
banyak korban berjatuhan. Maka tanah itu dinamakan Hahdramaut. Dan masih banyak
lagi pendapat ulama sejarah tentang asal muasal nama Hadhramaut. Selain Hadhramaut
masih banyka lagi keturunan-keturunan Qahthan, diantarnya Ya’rib bin Qahthan,
saudara tua Hadhramaut sang penguasa agung negeri Saba’ (sekarang Ma’rib).
Kekuasaan dinasti Qahtan terus berlanjut di Hadharamut selama berabad-abad sampai
akhirnya dikuasai dinasti Ma’in yang juga masih keturuna dari dinasti Qahthan.
Dinasti selanjutnya yang berkuasa
didaerah Yaman adalah dinasti Ma’in yang berkuasa dari 1500-850 tahun SM.
Kemudian dinasti Saba’-yang sangat terkenal dengan bendungannya untuk irigasi
pertanian negerinya-sebagimana yang dituturkan dalam Al- Qur’an ketika kaum Saba’
di munaskan karena kufur akan nikamat Allah Swt. Dinasti ini berkuasa sejak
850-115 tahun sebelum Islam. Dinasti Himyar kemudian mengambil alih kekuasan
wilayah ini mulai dari tahun 165 SM-525 M yang mana dinasti ini terkanal akan
kafasihan dalam bahasa Arab fushahnya.
Himyar salah satu daerah di negeri Saba’. Sebagian orang malah
menyebutnya Saba’, bukan Himyar. Dinasti Himyar berdiri setelah Dinasti Saba’
sekitar 165 SM hingga 525 M. Ibu kotanya Dzafar. Orang-orang Habasyah (Afrika)
pernah menyerang dan meruntuhkan Dinasti Himyar. Namun kemudian mereka diusir
dan kekuasaan direbut kembali oleh keturunan Himyar. Pahlawan Arab yang populer
saat itu adalah Saif bin Dzi Yazin al-Himyari yang disokong Persia (Iran dan
sekitarnya). Persia menguasai pemerintahan di Yaman, Hadhramaut, Iraq, dan
Bahrain sampai era kedatangan Islam. Raja-raja yang paling terkenal sebagai penguasa
Hadhramaut kala itu adalah Syamar Yar'asy (dijuluki dengan nama Raja Saba’ dan
Raja Dzi Raidan), raja Hadhramaut, dan Syarahbil bin Ya'fubin Abi Karib As'ad
yang menguasai Dinasti Dzi Raidan Hadhramaut dan Yamanat (Yaman). Dialah raja
yang membangun bendungan Ma'rib pada pertengahan abad kelima masehi.
Setelah runtuhnaya dinasti Himyar, Yaman
di bawah dua kerajaan yang berkuasa; dinasti Hadhramaut dan dinati Kindah. Dari
dua dinasti ini, terlahir raja-raja bak jamur tumbuh subur dari tahta ketahta
sampai datangnya Islam. Ketika Islam datang, Hadhramaut masih tetap dikuasai
oleh raja-raja dari kedua dinasti tersebut. Diantara raja yang paling terkenal
adalah Jamada, Masyraha, Makhusha dan Ratu 'Amrada. Dan pada dinasti Kindah inilah
Islam mulai muncul di daerah Hadhramaut dan sekitarnya setelah masyarkat
dinasti Kindah mendengar telah datang utusan dari Allah yang akhirnya mereka
memutuskan untuk berpergian menuju Madinah sekitar tahun 10 H menempuh beratus-ratus
kilo yang di pimpin oleh Asy’ast bin Qois Al-Kindy yang menikah dengan saudari Abu Bakar RA yang
bernama Ummu Farwa binti Abu Quhafa. Nabi juga meminang saudari Asy’ast yang
bernama Qatilah binti Qois akan tetapi Asy’ast meninggal dunia sebelum Qatilah
datang ke Madinah.
Mulailah terjalin hubungan persaudaraan Islam
antara Madinah dan Yaman khussunya Hadhramaut sehingga Rasulullah mengutus para
sahabat ke Yaman dan sekitarnya untuk mengajarkan dan menyebarkan Islam secara
universal dengan tujuan agar visi dan misi agama Islam bisa terealisasikan.
Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari adalah tokoh pertama dalam penyebaran Islam
di kawasan Arab selatan yang diutus oleh nabi. Dari riawayat Ubaid bin Shokr, Ibn
Hajar mengatakan bahwa Muadz ketika diutus nabi, dia tiba di daerah as-Sukun
dan Abu Musa al-Asy’ari tiba di daerah as-Sakaasik sampai kedunya
bertemu dan akhirnya mereka tiba di Hadhramaut (untuk menyebarkan Islam).
Selain mereka berdua, nabi juga mengutus sahabat Ziyad bin Lubaid al-Anshariy
al-Khazrajiy RA ke Hadhramaut langsung. Dia mengahabiskan waktunya di daerah
Tarim dan Syibam sejak akhir masa nabi sampai khalifah Umar bin Khattab.
Sampai akhirnya Islam bertahun
tahun berada di Hadhramaut dengan pasang surut problematika mulai dari kasus
murtadnya sebagian orang-orang Islam pada masa Abu Bakar, sampai munculnya
fitnah yang meyebabkan aliran Ibadhiyyah dan Syi’ah serta Khawarij masuk di
wilayah tersebut.
Di mulai setelah hijrahnya Ahmad bin
Isa al-Muhajir ke Yaman dan bertempat di daerah Dau’an (Provinsi Hadhramaut
sekrang) pada tahu 317 H setelah meniggalkan Makkah dan Madinah yang sebleumnya
disinggahi kemudian menlanjutkan perjalannya karena ada fitnah Gharamithah,
mulalilah ajaran Islam Ahlussunah yang dibawanya merebak luas dan menggeser
posisi Syi’ah dan Khawarij serta Ibadhiyyah di sana, walaupun masih ditemukan
kaum minoritas yang memeluk aliran tersebut. Sampai akhirnya banyak dari
keturunan Ahmad bin Isa yang menjadi ulama dan wali serta dai-dai di kawasan
tersebut bahkan penyebar Islam ke Nusantara, Asia Timur dan Tenggara.
Dari situlah mulai kelembutan dan kearifan Islam tumbuh di kawasan Hadhramaut
sampai sekarang, walaupun setelah Islam masuk Hadharamaut masih dibawah
kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam. Dan berpuluh-puluh juta keturunan Ahmad bin
Isa yang di kenal dengan sebutan habaib mejadi tonggak utama
berkembanganya corak sosial budaya Islam yang berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah.
Dengan kelembutan dan keramahannya menjadikan masayarkat Yaman dan Hadhramaut
khususya menjadi lebih ramah, santun, sopan dan sangat menghormati. Hal ini
sudah di buktikan oleh nabi jauh-jauh sebelum Islam menyeluruh di kawasan
tersebut dengan sabdnya :“Datang kepada kalian penduduk Yaman, mereka lebih
ramah perasaannya dan lebih lembut hatinya, iman adalah pada penduduk Yaman,
dan hikmah kemuliaan ada pada penduduk Yaman .” (HR Bukhari).
C.
Kehidupan Sosial
Budaya Masyarakat Hadharmaut
Secara sosial masyarakat Hadhramaut
merupakan masyarakt Islam yang masih sangat memegang teguh syari’at agama dan
memegang teguh apa-apa yang di lakukan para ulama Hadhramaut sejak dulu. Itu
terbukti dengan banyaknya ritual-ritual keagamaan yag mereka lakukan yang kemungkinan
tidak akan ada di negara Islam lainnya di dunia ini. Acara agama tersebut
merupakan hasil dari ijtihad ulama dulu yang dilestarikan dengan jalan
mengadakan perayaan setiap tahun. Sebut saja seperti shalat qodlo shalat
maktubah berjumlah 17 raka’at yang dilaksanakan pada hari Jum’at akhir setiap
bulan Ramadhan di ‘Inat (daerah di provinsi Hadhramaut). Shalat tersebut
dijalankan oleh mayoritas masyarkat Hadhramaut yang merupakan hasil dari
ijtihad Habib Syeikh Abu Bakar bin Salim dengan tujuan agar berjaga-jaga manakala
sewaktu-waktu ada shalat lima waktu yang lupa tidak didirikan semenjak satu
tahun sebelumnya. Bukan untuk sengaja meninggalkan shalat dalam masa satu tahun
tersebut dan kemudian di qadlo pada hari itu. Berbeda dengan halnya jika ada
seseorang ingat bahwa ada shalat wajib yang belum ia didirikan, maka wajib
hukumnya untuk mengqadlanya. Dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan sosial
keagamaan di Hadhramaut.
Dalam
segi budaya secara umum, Hadhramaut ibarat kertas putih yang sama seklai tidak
dijamah oleh budaya lain, apalagi budaya Barat. Islam masih menjadi
satu-satunya manifestasi budaya di Hadhramaut yang masih kental. Tak heran jika
sebagian golongan menganggap Hadhramaut adalah Islam yang sangat kolot, bahkan Islam
yang Ortodok dan Radikal. Sebenarnya dalam Islam tidak ada label Islam Tradisonal,
Islam Moderat, Islam Radikal, apalagi Islam Liberal. Itu hanya terminologi yang
dilabelkan oleh kaum Barat. Karena agama Islam semuanya berlandaskan Al-Qur’an
dan hadist-hadist nabi yang senantiasa mengedepankan sifat toleransi dan
keramaahan kepada setiap mahluk. Islam pun tidak memaksa kepada seseorang untuk
memeluk agama Islam. Memang substansi istilah-istilah penggolongan Islam itu ada
dan muncul di kaum muslimin. Hal itu karena perbedaan interpretasi setiap
individu muslim yang terkadang agak nyeleneh dan tidak sejalan dengan mayoritas
ulama pendahulu. Bukan karena Islam itu turun dari Allah Swt. dan sudah
digolong-golongkan seperti itu.
Dalam segi sosial keagaaman, hadharim
(sebutan untuk orang-orang Hadhramut) senantiasa berpegang teguh pada syariat Islam. Terbukti dengan banyaknya
kaum wanita yang masih memepertahnkan syari’at untuk memakai cadar dan untuk
tidak keluar rumah kecuali ada hal yang mendesak. Walaupun itu dianggap sangat
kolot, tapi itu merupakan bukti bahwa syari’at masih dipegang secara totalitas.
Bukan malah membuktikan bahwa mereka itu lebih suci dari yang tidak bercadar.
Terlepas dari kedinamisan dan elastifitas syari’at Islam (murunat as-syariah al-islamiyah)
yang membolehkan wanita tidak memakai cadar dengan landasan lebih mengedepankan
maslahat hubungan sosial kemasyaraktan agar selalu berdampingan dengan damai
satu sama lain, wanita yang memakai cadar tidak selayaknya dimarginalkan atau
dikucilkan bahkan dihina terutama para wanita di kota Tarim Hadhramaut. Kalau
kemashlahatan dan hak asasi manusia setiap individu menjadi tolak ukur dan
landasan diperbolehkannya wanita tidak memakai cadar, para wanita yang memakai
cadar pun itu memandang bahwa kemashlahatan-karena maraknya maksiat dan fitnah sehingga
mereka bercadar-dan hak asasi manusia merupakan tolak ukur dan landasan mereka
untuk mempertahankan mereka bercadar. Jika wanita yang tidak bercadar beralasan
karena mengedepankan kemashlahatan dan HAM, apakah salah mereka yang bercadar
beralasan seperti itu juga?. Tidak ada yang salah antara yang bercadar dan
tidak bercadar selama kedua-duanya masih berpegang dengan syari’at Allah Swt.
karena kemungkinan yang bercadar tidak lebih mulia di sisi Allah dari pada yang
tidak bercadar dan sebaliknya. Begitu juga orang yang berjubah tidak lebih
mulia di sisi Allah Swt. dari pada yang tidak berjubah dan sebaliknya.
Dalam ranah pendidikan, masyrakat Hadhramaut
mayoritas mengedapankan belajar syari’at Islam. Itu di tandai dengan banyaknya
lembaga pendidikan baik yang berupa Universitas ataupun Rubath-Rubath
(pesantren), didirikan di Hadhramaut terutama kawasan Tarim yang terkenal
dengan kota pendidikan yang pernah dinobatkan oleh dunia Internasional sebagai Capital
of Islamic Culture pada tahun 2010. Ada sebagian masyarakat yang tentu saja
memprioritaskan untuk mendalami sains dan tekhnologi. Itu pun setelah putra dan
putri mereka dididik agama sejak kecil. Itulah keseimbangan antar ilmu agama
dan ilmu sains yang kedua-duanya harus melekat pada setiap individu muslim agar
Islam menjadi agama yang bertengger di posisi paling atas sebagaimana Islam
dulu di spayol.
Walhasil, masyarakat Hadhramaut
tidak mengedapankan ilmu agama saja. Bahkan banyak dari putra-putra tokoh
masyarakat dan habaib Hadhramaut digembleng ilmu sains dan tekhnologi setelah
mereka dibekali ilmu keagamaan yang menjadi bekal mereka daalam kehidupan
bersosial dan bermasyarkat.
D.
Saatnya Nusantara
berkaca pada Hadhramaut
Sudah tidak diragukan lagi bahwa Islam
masuk ke Nusantara terutama Jawa dibawa oleh penyebar Islam dari Hadhramaut
setelah mereka singgah di daerah Gujarat India yang dipelopori oleh keluarga
besar Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, beliau masih keturunan Syekh
Muhammad Shahib Mirbath dari Hadramaut. Mereka memutuskna untuk melanjutkan
berlayar menuju kawasan Asia Tenggara setelah India diduduki kolonial Inggris
pasca dibuknya terusan Suez (qanatus suwais) di Mesir yang berdampak banyaknya kolonial Eropa yang
berkeinginan untuk melakukukan invasi di daerah Asia.
Dari
situ dapat dismpulkan, bahwa “nenek moyang” dan “orang tua” orang-orang Islam
Indonesia adalah hadharim. Sangatlah riskan dan ironis jika seorang anak tidak mencerminkan
sifat orang tuaya. Menurut ahli kedokteran pun mengatakan bahwa genetika dari
seorang bapak atau ibu pasti akan menurun ke anaknya. Kalau begitu, orang Islam
Indonesia sudah pasti ada sifat genetika dari orang Islam Hadhramaut seperti
keramahan dan kesantunannya. Akan tetapi, sifat-sifat itu seolah mulai luntur
dalam jiwa muslim Indonesia.
Faktor utama yang menjadikan lunturnya “jiwa Islam”
adalah westernisasi budaya yang semakin hari semakin mendarah daging di
Indonesia. Jika seorang anak bisa berubah 180 derajat sifatnya ke sifat orang
tuanya ketika lingkungannya menjadikan dia anak yang nakal. Muslim indoneisa
pun pasti bisa seperti itu. Dengan cara nasihat dan terapi meyadarkan muslimin
Indonesia agar mereka kembali seperti induknya adalah salah satu upaya untuk back
to Hadhramaut. Sebagaimana seorang induk harus berusaha menjadikan sang
anak tetap pada keinginan dan kemauan sang induk, tidak salah kalau banyak
mahasiswa dan pelajar Indonesia belajar di Hadhramaut supaya terbentuk karakter
seperti induknya. Hal itu bukan berarti pelajar Indonesia agar menjadi seperti
orang Hadhramaut sepenuhnya, akan tetapi agar menjadi muslim seperti muslim di
sana. Karena seorang anak juga tidak mesti serupa dengan orang tuanya seratus
persen.
Saatnya muslimin Indonesia harus mau mengaca kepada
masyarakat Hadhramaut dalam menjalankan syaria’t Islam. Harus berani bersikap nekad
untuk bisa kembali ke asalnya. Kalau seorang anak bisa nekad menjadi nakal,
mengapa dia tidak berani nekad menjadi jati dirinya yang sebenarya?
Dan
saatnya orang-orang Indonesia juga mengaca pada Hadharamaut dalam kehidupan sosial
budayanya yang selalu menjadikan Islam sebagai manifestasi hidup mereka.
Berusaha menjunjung tingi nilai-nilai sopan santun dan kearfian sebagaimana
yang Islam ajarkan dan mau menyadari bahwa dirinya adalah seorang muslim yang
lembut dan santun, bukan seorang yang bengis dan kejam. Mau menghidupkan lagi
kegiatan-kegiatan agama seperti maulid nabi, yasinan dan tahlilan dan selalu
menjunjung tinggi education balancing antara ilmu agama dan sains yang
tidak berat sebelah. Yang berkeinginan mendalami sains, hendaknya memiliki
bekal benih agama yang tertanam di dalam hatinya agar bisa menjadikan dia
ilmuwan yang berkualitas, yang tidak silau akan harta, apalagi sampai mau
disuap ataupun korupsi. Dan yang mendalami Islam pun hendaknya mengetahui
bagaimana pentingnya sains dan tekhnologi dan tahu apa itu urgenitas ilmu
pengetahuan umum buat kehidupan sehari-hari dan kemajuan Islam.
Wahai
muslimin Indonesia, sadarlah dan kembalilah ke jati dirimu yang sebenarnya. Seokor
rusa yang kejam pasti tahu bahwa dirinya adalah rusa, bukan harimau sang
pemangsa. Apakah patut orang Islam Indonesia kalah dengan tingkah laku rusa?
* Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al Ahgaff Fak. Syari'ah Semester 7 Alumni Pon. Pes. Al Hikmah tahun 2009
0 comments:
Post a Comment