Pages

Wednesday, April 09, 2014

Tapak Tilas Para Nabi di Negeri Yaman # Chapter 1: Nabiyullah Hud A.S.





Nama, nasab dan asal usul Nabi Hud A.S
            Beliau adalah Nabiyullah Hud A.S bin Syalikh bin Arfakhsyadz bin Saam bin Nuh bin Lamak bin Matuwsyalikh bin Akhnukh bin Idris bin Ilyarid bin bin Mihyail bin Qiynan bin  Anusy bin Syits bin Adam  shalawatullah ‘alal anbiya’ ajma’iin. ([1])
            Dituturkan oleh Ibnu Jarir dalam kitab Tarikh at Thabary bahwa beliau adalah Hud bin Abdullah bin Rabbah bin al Khalud bin ‘Ad bin ‘Aus bin Iram bin Saam bin Nuh A.S.([2])
            Nabi Hud berasal dari sebuah  qobilah bernama ‘Ad bin ‘Aus bin Saam bin Nuh. Mereka merupakan bangsa Arab yang tinggal di Al Ahqaff, yaitu pegunungan pasir yang berada di Yaman, antara Oman dan Hadhramaut,  berada di kawasan hamparan tanah yang mendekati lautan bernama Syihir dan lembah yang mereka tinggali disebut Mughits ([3])         

Sejarah Nabi Hud a.s
            Kisah Nabiyullah Hud A.S. diceritakan dalam al Qur’an sebanyak 68 ayat dalam 10 surat, diantaranya adalah Q.S. Hud ayat 50-60. Nabiyullah Hud a.s diutus oleh Allah swt. kepada Kaum ‘Ad. Mereka merupakan orang yang pertama kali menyembah berhala setelah musibah air bah atau banjir bandang yang ditimpakan kepada kaum nabi Nuh a.s. Berhala-berhala mereka terdiri dari tiga nama: Shodaa, Shomuda, dan Hira.
Kaum nabi Hud diberi kelebihan oleh Allah swt. berupa kekuatan dan keperkasaan jasmani dan watak yang keras. Karena sifat sombong dan keras kepala Kaum ‘Ad, mereka membangkang ajakan Nabi Hud untuk menyembah Allah swt karena bagi mereka penyembahan berhala-berhala itu merupakan ajaran nenek moyang sebelumnya dan tidak boleh sampai ditinggalkan. Dengan penuh kesabaran dan kelapang dadaan, Nabi Hud terus mendakwahi mereka namun tetap saja mereka bersikukuh pada keyakinan dan kepercayaannya dengan menyembah berhala.
Akhirnya kaum ‘Ad pun dibinasakan oleh Allah swt. pertama-tama dengan turunnya awan mendung yang disangka mereka akan turun air hujan sehingga bisa diminum. Padahal itu adalah awal mula turunnya siksa bagi mereka. Kemudian mulai bermunculan petir dan angin kencang secara terus menerus sampai tujuh malam dan delapan hari sampai kaum ‘Ad pun binasa.([4])

Letak Maqbarah Nabi Hud A.S.
            Lokasi makam Nabi Hud berada di daerah bernama Syi’ib Hud yang berjarak sekitar kurang lebih 80 km dari kota Tarim dan bisa ditempuh dengan kendaraan darat sekitar 3 jam.
            Letak keberadaan makam Nabi Hud a.s di Hadhramaut ini dibenarkan dengan beberapa dalil, diantaranya:
·         Firman Allah swt. yang menyebutkan :
وَاذْكُرْ أَخَا عَادٍ إِذْ أَنْذَرَ قَوْمَهُ بِالْأَحْقَافِ وَقَدْ خَلَتِ النُّذُرُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (21Q.S. Al Ahqaf : )
Artinya : “Dan Ingatlah (Hud) saudara kaum ‘Ad, yaitu ketika dia memberi peringatan kepada kaumnya di Al Ahqaf dan sesungguhnya telah terdahulu beberapa orang pemberi peringatan sebelumnya dan sesudahnya (dengan mengatakan), “ Janganlah kalian menyembah selain Allah, sesungguhnya aku khawatir kalian akan ditimpa azab hari yang besar” (Q.S Al Ahqaf: 21).
      Allah mengutus Nabi Hud a.s kepada kaumnya di Al Ahqaff dan sebagaimana diketahui bahwa Al Ahqaf ialah Hadhramaut, tempat tinggalnya kaum ‘Ad dahulu seperti yang dituturkan oleh mayoritas ulama tafsir dan pakar sejarah.
·         Riwayat Ibnu Jarir at Thabary yang mengkisahkan bahwanya Sayyidina Ali bin Abi Tholib r.a. berkata pada seorang lelaki yang datang dari Hadhramaut, “apakah kamu melihat bukit pasir merah yang tercampuri tanah liat merah dan memiliki pohon arok dan pohon bidara yang banyak di daerah ini dan ini di Hadhramaut, apakah kamu melihatnya?”, orang itu menjawab, “ Ya, wahai amirul mu’minin, demi Allah sesungguhnya tuan benar-benar menggambarkannya seperti orang yang telah melihatnya”. Sayyidina Ali pun berkata, “ tidaklah demikian, akan tetapi aku pernah diceritakan tentangnya”. Kemudian orang Hadhramaut itu bertanya,”lantas apa urusan tuan wahai amirul mu’minin?”. Sayyidina Ali menjawab, “ disana terdapat kuburan Hud sholawatullah ‘alaih”.([5])    
·         Ibnu Hisyam Al Humairy dalam kitab “At Tijan fi Muluk Humair” menuliskan bahwasanya Nabiyullah Hud a.s disemayamkan di Al Ahqaff, yaitu di suatu tempat yang bernama al Hunaibiq di samping Al Hafif. Sementara al Hafif adalah nama sebuah sungai yang Allah keluarkan air penolong dan tumbuhkan buah-buahan semenjak Allah turunkan tanda-tanda kenabian Hud a.s. dan kini sungai itu berada di dekat pemakaman Nabi Hud yang sampai sekarang masih mengalir.([6])
Dalil-dalil tentang benarnya keberadaan makam Nabi Hud a.s. bisa dilihat secara lengkap dalam kitab Nailul Maqshud fi Masyru’iyyat ziyarati nabiyillah Hud a.s. karangan al Habib Salim bin Abdillah bin Umar as Syathiry, pengasuh Ribath Tarim- Hadhramaut.
  
Ziyarah Nabi Hud A.S di Hadhramaut
            Dalam rangka mengenang jasa Nabiyullah Hud a.s ini, masyarakat Hadhramaut melaksanakan tradisi ziyarah akbar Nabiyullah Hud a.s. yang diselenggarakan setiap awal bulan Sya’ban, selama 3 hari sekitar tanggal 8-10 Sya’ban. Musim ziyarah ini biasanya dihadiri oleh ribuan peziyarah yang tidak hanya datang dari daerah Hadhramaut saja, tetapi juga para peziyarah dari luar Hadhramaut bahkan dari luar negeri Yaman.
            Ziyarah Nabiyullah Hud a.s memiliki tata cara tersendiri yang diawali dengan ziyarah ke Zanbal dilanjutkan ke Inat, tempat maqbarah Syeikh Abu Bakar bin Salim,  kemudian menuju makam Nabiyullah Hud a.s di Syi’ib Hud.
            Ziyarah biasanya dilakukan oleh perorangan atau dengan bersama-sama dengan dipimpin oleh seorang yang dituakan dari keluarga tertentu yang disebut dengan istilah Munshib. Ziyarah ‘ammah atau bersama-sama ini dilakukan dengan tata cara sesuai tradisi yang sudah turun temurun diwarisi dari leluhur.
            Pertama, peziyarah berkumpul dahulu di Sungai dekat lokasi makam-Sungai Al Hafif- Sungai tersebut dikatakan dan diyakini oleh para penduduk setempat termasuk sungai surga. Mereka mandi disana  atau hanya sekedar wudhu saja.
           
Kemudian shalat dhuha di Mesjid Syeikh Umar al Muhdhor yang lokasinya dekat sungai jika waktu ziyarah di pagi hari, atau melakukan shalat fardhu berjama’ah jika bertepatan dengan waktu shalat fardhu. Kemudian membaca surat Yasin.
            Setelah itu, rombongan bergerak menuju makam dengan berjalan kaki sambil berdzikir “Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaaha illallah allahu akbar”. Sebelum mencapai makam, rombong akan berhenti di tempat yang berbentuk sumur yang disebut dengan Bi’ruttaslim (sumur keselamatan). Di tempat ini, para peziyarah membaca salam kepada Nabi Muhammad saw, Nabi Hud a.s, para malaikat dan para nabi yang dipimpin oleh munshib.
            Kemudian rombongan kembali berjalan menuju makam. Ketika sampai di makam, rombongan kembali membaca salam lalu membaca surat Yasin atau surat Hud dan ditutup do’a yang dipimpin oleh munshib.
            Setelah selesai berdo’a, rombongan berpindah ke tempat di bawah batu besar. Tempat tersebut dinamakan Naqoh (batu besar). Di tempat ini, para peziyarah akan membaca maulid Nabi, mendengarkan syai’r-sya’ir yang berisi pujian pada Rasulullah saw. atau petuah dan nasihat. Kemudian seorang atau dua orang ulama akan berceramah dan yang lain mendengarkan sampai acara ditutup dengan do’a.

Tradisi Ziyarah Para Habaib Hadhramaut    
            Keluarga atau kabilah tertentu di Hadhramaut biasanya memiliki jadwal khusus dalam ziyarah Nabiyullah Hud ini. Diantaranya pelaksanaan ziyarah mulai pagi hari tanggal 8 Sya’ban dilakukan oleh keluarga Al Habsyi dari kota Houthoh. Sorenya dilakukan oleh keluarga Al Habsyi dari kota Seiyun.
            Pada tanggal 9 Sya’ban pagi hari sekitar jam delapan dilaksanakan ziyarah oleh keluarga Balfaqih, dan disusul oleh rombongan keluarga Al Haddad. Sorenya ziyarah rombongan kelurga Bin Hamid Ba’lawy.
            Pada tanggal 10 Sya’ban atau hari terakhir di pagi hari sekitar jam delapan ialah jadwal keluarga Bin Syihabuddin dan rombongan terakhir keluarga Bin Syeikh Abi Bakar bin Salim yang dimulai sekitar jam Sembilan dan diikuti oleh ribuan peziarah. Kemudian sore harinya tanggal 10 Sya’ban, para peziyarah meninggalkan lokasi makam kembali ke daerahnya masing-masing. # wallahu a’lam.


[1] 
[2]  Tarikh at Thabary, Ibnu Jarir At Thabary (1/216).
[3]  Qoshoshul Anbiya, Ibnu Katsir (1/125) .
[4]  Nailul Maqshud fi Masyru’iyyati ziyarati nabiyullah Hud A.S (15-47), diringkas.
[5] Tafsir Jami’ al Bayan, Ibnu Jarir at Thobary (8/507) dan diriwayatkan pula oleh Imam Al Bukhory dalam at Tarikh al Kabir (1/1/135 no. 304)
[6] At Tijan fi Muluk Humair, Ibn Hisyam al Humairy hal. 45. dan Badhoi’u at Tabut, Abdurrahman bin Ubaidillah as Segaf (1/91)

Demi Sebuah Mimpi

(An Experience and Insvirative Story)
            Mimpi adalah kunci, Untuk kita menaklukan dunia…
            Berlarilah tanpa lelah, Sampai engkau meraihnya…
(Lirik lagu “laskar pelangi” - Nidji)
            Dendang lagu ini seakan sudah tidak asing lagi di telingaku. Liriknya begitu  selaras menggambarkan titik awal dimana langkah  perjuanganku meraih sebuah impian dimulai. Ya, Berawal dari sebuah mimpi, segala bentuk cita-cita pasti bisa dicapai, asalkan berani  berusaha sekuat tekad perjuangan demi meraihnya.
Dan tulisan ini adalah sebuah kisah singkatku dalam upaya untuk bisa kuliah di belahan bumi Timur Tengah. Dimana ilmu syari’at Islam berikut penerapannya senantiasa mengalir berkesinambungan. Khazanah Islampun terasa masih jernih dan menyejukan para penuntutnya, serumpama air minum segar yang diteguk langsung dari sumber mata airnya. Murni segarnya.
Ketika mendengar Lagu itu, aku teringat pada waktu training motivation terakhir bersama guru motivator kebanggaan, Ust. Nur Fauzan, Lc. di Gelanggang Olahraga (GOR) Pon. Pes. Al Hikmah - Bumiayu. Lagu itu dilantunkan oleh beberapa siswi Malhikdua (Madrasah Al Hikmah 2, sekolahku dulu) yang ditunjuk kedepan untuk menyanyikannya. Gema gempita suaranya membahana dan menulusuri setiap celah telinga kerumunan siswa-siswi kelas akhir yang duduk berjejeran di lantai dengan setia menyaksikannya. Memang acara trainning itu biasa digelar oleh Malhikdua mengingat masa depan anak didik yang perlu dimotivasi agar menjadi generasi terbaik masa depan bangsa.
   " Serukan dengan lantang apa Universitas yang ingin kalian tuju setelah lulus! ", pekik Ust. Fauzan menyemangati seluruh murid kelas akhir.
Kala itu, akupun segera berteriak sekeras mungkin dengan menyebut-nyebut universitas di Timur Tengah yang menjadi cita-citaku. “ Damasyqi University… Dimasyqi University…”, berkali-kali suaraku menggema di tengah GOR bersama ratusan teman lainnya. Padahal sebenarnya,  aku sendiri belum begitu mengenal seperti apa Universitas Damaskus itu. Yang jelas, aku mengaguminya karena kharismatik ulama-ulama Syam yang hingga kini mendunia seperti yang telah dituturkan Ustad Muhyidin, guru Tafsirku yang jebolan alumni negeri tersebut. Dan mulai detik itu, impianku adalah “Just Study in Middle East Country”, lanjutkan kuliah di Timur Tengah”
Negeri Paman Syam dalam Imajinasi Impian Pertama
Kuliah di Timur Tengah tidaklah semulus memasukan kunci ke dalam motor lalu bisa berangkat seenaknya. Tentulah ada halang rintang yang harus dilewati. Rencana pertamaku adalah mentargetkan negara Suriah lewat beasiswa Departemen Agama.  Seandainya itu tidak bisa tembus, mungkin aku mencoba pilihan kedua, ikut test universitas Al Azhar, Mesir yang non beasiswa. That’s my choise.
Namun rintangan itu bermula muncul dari intern keluargaku. Begitu mendengar keinginanku tadi, Ibu sangat mendukungku dengan sepenuh hati. Sayangnya, Ayahku belum bisa menerima permohonanku itu. Ia serta merta malah menyuruhku untuk kuliah di dalam negeri saja. Batinku seakan terpukul. Cita-citaku sepertinya akan dihadang angin kencang. Tinggal bagaimana aku harus mengambil langkah terbaiknya.
            Sampai detik kelulusanku, Ayah masih tetap kurang setuju. Terbukti, Di tengah acara pengambilan surat kelulusan di sekolah pondok pesantrenku, akupun hanya sendirian, berbeda dengan khalayak siswa-siswi lainnya yang besanding dengan keluarga mereka menyambut kebahagiaan sang buah hatinya. Akan tetapi, hal itu tidak membuat aku putus harapan, masih ada sinar mentari yang setia menemani langkahku.
Setelah kelulusan, aku segera mencari info beasiswa negara-negara Timur Tengah yang bisa diakses melali internet. Beberapa peluang beasiswa berhasil aku temukan, diantaranya Beasiswa Ma'had Dauly lil Ulum as Syar'iyyah wal Lughoh 'Arobiyyah di Suriah, Universitas Al Azhar Mesir non-beasiswa melalui Departemen Agama, Beasiswa Sudan dan Maroko. Namun sayang, informasi Beasiswa Universitas Damaskus, Suriah nihil aku dapatkan. Hanya ada beasiswa ma’had yang notebene non-degree. Akhirnya aku putuskan untuk mencobanya saja walaupun Ma’had ( sistem pesantren) yang penting bisa ke Suriah. Mungkin dari situ, Universitas Damasqus bisa aku kunjungi juga.
Beasiswa Mesir Tak Kunjung Tiba Bersama Prahara Suriah dalam Simfoni.
Sebenarnya, sebelum aku memilih untuk mencari beasiswa Universitas Damaskus, aku sudah terlebih dahulu mencoba daftar dan mengikuti test beasiswa Universitas Al Azhar yang di sediakan Sifaroh (Kedutaan Besar) Mesir di Indonesia sebulan sebelum Ujian Nasional. Dengan beberapa ikhwan dan akhwat seangkatanku, aku mengikuti test yang bertempat di kediaman Kedutaan Besar Mesir, Jl. Teuku Umar No. 68 Menteng, Jakarta Pusat dengan ditemani oleh Ustadz pembimbing.
            Hanya bermodalkan Bahasa Arab dan Hafalan Qur'an yang baru 5 juz, aku memberanikan tekad mengikuti test yang berhadapan langsung dengan guru-guru dari Mesir. Harapan hanyalah sebuah harapan, tidak bisa terwujud melainkan atas kehendak Sang Maha Kuasa. Dan ternyata, setelah beberapa bulan memang pengumuman kelulusan beasiswa Kedubes Mesir seolah raib termakan angin, tidak ada kabar dan informasi selanjutnya, entah kemana dan mengapa? Aku tidak tahu.
Dari situ, aku lantas memilih langkah alternative berikutnya, Syiria atau Suriah. Aku tidak hanya sendiri, tapi aku juga mengajak beberapa teman seangkatan untuk ikut daftar bahkan aku sendiri yang mengkoordinir proses registrasi dan kelengkapannya  lalu diserahkan ke Kantor Direktorat Pendidikan Diniyyah dan Pondok Pesantren (Ditpdpontren) di Gedung Kementerian Agama Pusat- Jakarta. Sayangnya, Beasiswa itu non-degree, yaitu berupa program study beasiswa 4 tahun bagi santri pesantren di Ma'had Dauly li Ulumi as Syari’ah wal ‘Arobiyyah, Syiria. (Ma’had Internasioanl untuk Study Ilmu Syari’ah dan Bahasa Arab) yang diadakan oleh Kementerian Wakaf Republik Arab Syiria.
Setelah ketujuh peserta Al Hikmah mengikuti Test di Kanwil Depag Semarang, seminggu berikutnya pengumuman hasil ujian dimuat secara online di internet. Berita bahagia itu tersiar lewat tulisan dalam bentuk tabel yang menyatakan semua peserta santri Pon. Pes. Al Hikmah lolos beasiswa Ma’had Dauly tersebut. Kabar itu sampai terdengar di telinga guru-guru dan kepala madrasah. Sampai akhirnya, kami bertujuh dipanggil KH. Mukhlas Hasyim, MA, sebagai bapak kepala Malhikdua. Ketika itu, aku yang sebagai koordinator teman-teman berhalangan sedang mengurusi acara Haflah Khotmil Qur’an 2011. Jadinya, aku tidak tahu adanya pemanggilan itu. Yang jelas, isi dari maksud dipanggilnya kami bertujuh adalah melarang keras melanjutkan study di Suriah. Alasan utama Abah Mukhlas melarang kami yaitu karena Suriah merupakan negara monarki yang sangat otoriter. Penguasanya adalah rezim sang raja yang absolut. Militerpun wajib patuh pada setiap perintahnya yang mengandung unsur Syi’ah. Walaupun Negaranya bermayoritas Sunni, tapi kepemimpinan orang Syi’ah bisa memonopoli laju kehidupan disana. Sering terjadi pembunuhan masal, pengeboman, perang antara penduduk dan tentara militer, dan banyak lagi kebiadaban pemerintah yang tidak sampai terekspose media. Akhirnya, kami pun manut dan meng-cancel beasiswa untuk ke Suriah itu, mengingat kekhawatiran beliau demi keamanan anak-anak didiknya.
Bepetualang Demi Peluang Study di Negeri Seribu Benteng
Ibuku yang percaya penuh pada keinginan dan kemampuanku merasakan kegalauan sang buah hatinya. Dimana aku masih terombang-ambing mau kuliah kemana?. Konflik keluargapun kerap terjadi antara ibu yang penuh mendukungku study ke Timur Tengah dan ayah yang masih serta merta menginginkaku kuliah di dalam Negeri saja. Aku sendiri belum mendapat pencerahan kemana masa depanku untuk kuliah di Timur Tengah?
            Kemudian Ibuku menyarankanku untuk pergi ke Surabaya, guna meminta rekomendasi dari KH. Asep Saefullah, Pengasuh Pon. Pes. Amanatul Ummah, Surabaya yang biasa memiliki relasi untuk beasiswa Maroko. Mungkin beliah bisa membantu karena sama-sama dari asli pribumi desaku. Hal seperti ini pernah juga dilakukan oleh seorang tetangga perempuan yang juga kakak kelasku. Dan akhirnya berhasil berangkat ke Maroko. 
Dengan ditemani seorang ustadz kerabat Kyai Asep yang tinggal dekat rumahku, aku  pun mengindahkan anjuran Ibu. Segala keperluan telah Ibuku siapkan dari perbekalan, ongkos dan uang pegangan untuk kami berdua. Aku tinggal di pondoknya Kyai Asep sampai satu mingguan. Di tengah kesibukan Kyai Asep, aku akhirnya dipertemukan dengannya. Beliau berkata, “ Man, nek kepingin marang Maroko melalui jalur pondok iki  yo kudu ngabdi desek sataun bari ngenteni proses legalisasi Ijazah karo persyaratan-persyaratane”. Akupun hormat dan ta’dzim pada penuturannya. Namun bagiku, mengabdi satu tahun di Surabaya bagiku terasa berat dan belum tentu kedua orang tuaku bisa mengizinkannya. Sementara aku sendiri ingin segera berkuliah.
The Spirit of Yemen
            Dalam perjalanan kereta dari Surabaya menuju pulang, aku duduk termenung. Kedua bola mataku mengkristalkan air mata, maratapi nasib kemana aku harus melangkah. Hatiku gundah. Namun sekilas aku terbesit, Negara Yaman. Ya, program beasiswa Yaman belum aku coba, aku terpikir sejenak tentang Gus (Putra Kyai) Pon. Pes. Al Hikmah yang merupakan alumni Yaman. Tak ada salahnya aku mencoba. Lantas perjalanan pulangku menuju rumah aku urungkan, segera aku berkirim SMS kepaada Ibu bahwa aku akan pulang ke pesantren dulu untuk sowan ke Abah Yai Masrur, Pengasuh Pon.Pes. Al Hikmah, meminta pencerahan beliau tentang kuliah di Negeri Saba’ itu.
Setibanya tengah malam di pesantren, aku dikabari seorang teman bahwasanya telah dibuka test beasiswa Universitas Al Ahgaff Yaman yang bertempat di Bogor. Persyaratannya berupa fotocopy SKHU, Photo berwarna, dan Surat Rekomendasi Pondok Pesantren.
Esok paginya, Aku segera menyiapkan persyaratan dan mendatangi kantor pondok guna meminta dibuatkan surat rekomendasi pada pengurus bagian sekretaris di pondok. Sesaat kemudian aku berjalan kaki memasuki dalem Abah Yai dengan membawa sehelai stopmap berisikan Surat Rekomendasi. Akhirnya, beliaupun merestui dan mendukung sepenuhnya niatku mengikuti test beasiswa Al Ahgaff. Tadinya aku tidak yakin mengikuti test Yaman, tapi pesan Abah Yai Masrur menguatkan niat dan keyakinanku. “ Yaman itu negerinya para wali, disana kamu bisa belajar Fiqih Syafi’I murni dari sumbernya. Niatkan yang suci untuk menuntut ilmu”, tutur beliau. Dan Sore harinya aku langsung bergegas meluncur ke Cipayung, Bogor.
Restu dan do’a guru memang membawa keajaiban. Manakala aku membuka pengumuman dan info test di warnet dekat rumah, Aku tersentak kaget, aku dinyatakan lulus dan layak mendapatkan beasiswa Universitas Al Ahgaff Yaman. Sujud syukur bahagia mendengar berita itu yang dilayangkan langsung dari Pengurus Yayasan Al Ahgaff Indonesia. Aku langsung mengabari ibu dan ayahku di rumah. Mereka berdua bahagia namun tidak sebahagia ayahku yang tetap kurang menyutujuiku. 
Hikmah di Balik Tirai Perjuangan  
            Perjuangan haruslah disertai strategi dan planning alternative. Tanpa adanya itu, usaha bisa jadi akan sia-sia, apalagi ketika seorang langsung putus asa dan lemah harapan. Aku sendiri tidak mengandalkan satu peluang saja, namun aku juga menjajahi beberapa peluang alternatif untuk bisa sampai Timur Tengah meski dengan berbagai halang rintang dan cobaan. Dan semua itu berawal dari tekad yang kuat untuk niat menuntut ilmu.
            Setelah mengikuti test Beasiswa Al Ahgaff, aku juga ikut mendaftar di satu perkuliahan strata Universitas Timur Tengah, namun berdomisili di dalam negeri, yaitu STAI Imam Syafi’I, Cianjur dengan rektor seorang pakar yuridis, Prof. Dr. Muhammad Hasan Hithou. Aku pun memilihnya karena pertimbangan sama seperti halnya kuliah di Timur Tengah dengan basis bahasa Arab dan ilmu syari’at Islam.
            Aku menemui banyak hikmah yang bisa ku petik dari perjuangan ini. Pertama, tidak jelasnya pengumuman Mesir membuat aku sungkan. Ketidak jelasannya itu memang berawal dari manajemen kedubes Mesir yang kurang tertata, ditambah gejolak politik pemerintahannya yang semakin berkecamuk sejak reformasi masa presiden Housni Mubarok kemudian Muhammed Mursi,  hingga banyak menewaskan ribuan korban jiwa. Kedua, Suriah pun sama. aku membatalkan beasiswa Suriah meski sudah dinyatakan lulus. Besar kemungkinan aku akan bernasib sama seperti teman-temanku yang sudah dipulangkan selamanya akibat konflik rezim pemerintahan rajanya, Bashar Asaad. Otortiter pemerintah dan militernya memporak-porandakan rakyat terutama kaum oposisi dan pemberontak hingga korban jiwa pun bergelimpangan dimana-mana, terutama di ibu kota Damaskus yang aku citakan itu. Ketiga, Maroko. Aku tidak mengambil beasiswa dari pondok di Surabaya, karena setelahnya ternyata ada pengumuman beasiswa Maroko lewat Depag RI, dimana syarat utamanya adalah nilai ujian nasional. Sebenarnya, akupun sudah termasuk kriteria persyaratannya, namun aku lebih memilih Yaman setelah pengumuman kelulusannya dilayangkan dan aku malah memberi kesempatan itu untuk temanku yang juga berkeingin kuliah di Maroko.
            Hikmah yang paling utama adalah adanya aku sekarang di Universitas Al Ahgaff Yaman. Aku menemukan cita rasa menuntut ilmu yang baru disini dengan segala rupa keunikan dan kekhasan bumi Hadhramaut, khususnya sebagai tempat asal muasalnya walisongo. Hikmah perjuangan ini sesuai hadits Baginda Rasulullah SAW, “ Al fiqhu yamani wal hikmah yamaniyyah “(Fiqih itu ada pada penduduk Yaman, dan Hikmah terletak pada orang Yaman). HR. Al Bukhori dan Muslim. Wallahu a’lam. #