Pages

Sunday, June 30, 2013

Langkah Nyentrik Para Ulama dalam Pinangan Partai Politik


 Oleh : Lutfi Ahsanudin *
Pendahuluan
           
            Pesta rakyat segera dimulai, genderang pemilihan umum 2014 sudah ditabuh sejak beberapa bulan yang lalu, media massa mulai sibuk mengejar deadlines berita-berita aktual seputar perpolitikan nasional. Banyak para bakal calon anggota dewan-mulai dari orang yang berwajah klasik, orang yang berganti wajah, sampai para selebritis yang tak tahu menahu makna politis- mulai mengembangkan sayapnya ke seantaro Sabang-Merauke untuk menarik para simpatisan. Karena menjadi anggota dewan, yang notabenya orang yang dihormati, berkuasa dan beruang, pasti menjadi objek penyerbuan para “tukang pencari uang”.
            Dewan perwakilan rakyat yang lebih dikenal dengan DPR merupakan suatu instansi pemerintahan yang mempunyai andil banyak dalam menjalankan roda pemerintahan NKRI. Tapi, apa kata orang jika para anggota dewan hanya berambisi menjual diri demi kekuasaan dan menimbun keuangan?. Citra DPR secara otomatis akan dipandang sebelah mata oleh rakyat, dan kepercayaan rakyat akan luntur jika para anggota dewan tidak menggemakan aspirasi rakyat. Opini publik jelas akan terbentuk bahwa DPR orang yang kosong otaknya, tapi penuh “kotaknya”. Lebih dari itu, gerakan bawah tanah yang tidak dinginkan akan bermunculan yang berdampak pada lumpuhnya sistem pemerintahan Indonesia sehingga tidak bisa mewujudkan tujuan didirikannya bangsa Indonesia sebagaimana tercantu dalam pembukaan UUD 45 alenia ke-4[1].
            Akan tetapi, tidak semua anggota dewan orang yang berambius pada hak pribadinya, masih banyak para anggota dewan yang selalu berpegang teguh dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat. Tapi, semua itu tidak akan berarti bagi rakyat jika aspirasi dan keinginan mereka selaku warga Negara Indonesia yang mempunyai hak masing-masing tidak tersalurkan. Rakyat hanya akan menanti wakilnya yang jujur, komitmen dan konsisten pada pendiriannya. Impian mereka tetap bertumpu pada wakil mereka yang bersedia bersimbiosis mutualisme, sebab mereka sudah memilih wakil rakyatnya dalam pemilu legislatif dan sudah percaya pada dirinya.
Memang sudah menjadi rahasia umum kalau DPR adalah lembaga yang para anggotanya ada yang terlibat dalam kasus KKN. Problem itu membuat citra DPR semakin terpuruk. Banyak survei nasional yang membuktikan bahwa DPR adalah termasuk lembaga terkorup. Kalau dikaji dan ditelaah lebih logis, sebenarnya DPR perlu sebuah rasa kepercayaan dari masyarakat agar citra lembaga tersebut tidak dipandang buruk.
Demi menjaga stabilitas dan moralitas anggota dewan yang merupakan kader partai di setiap fraksi di DPR, maka tak heran jika banyak partai yang berasaskan islamis melenggang bebas maju ke pesta rakyat sejak sistem multipartai dianut Indonesia. Mereka memainkan tokoh utama mereka yang lebih dikenal dengan sebutan ulama. Tidak itu, partai yang berasakan nasionalis pun tak mau ketinggalan dalam memfilter para kadernya untuk dijagokan dalam pemilu. Akhrinya timbul sebuah dua pemandangan yang sangat kontras dalam carut marut perpolitikan Indonesia. Para ulama yang dikenal dengan pengasuh masyarakat awwam, penerus ajaran rasul dan penyejuk dahaga bagi orang yang gersang akan Islam, akan lahir asumsi negatif jika terjun ke dunia politik praktis. Tapi, siapa lagi yang akan menjamin Indonesia tetap akan sejahtera dan maju bersaing di kancah internasional jika para wakil rakyatnya tidak mementingkan kepentingan rakyat, malah mementingkan kantong sakunya? Dari sini, parpol Islam mulai meminang para ulama yang dulunya tidak tahu menahu tentang politik demi mewujudkan wakil rakyat yang bersih dan jujur, untuk ikut maju memenangkan partainya dalam pemilu. Jika demikian, apa salah ulama berpolitik?

Pembahasan

A.    Fenemena Ulama Nyaleg

Ulama dalam hal ini meliputi para Kyai yang terbiasa dengan lingkungan pesantren dan kitab kuningnya dan para Ustadz yang membumikan syari’at Islam dengan jalur dakwah di berbagai majlis taklim baik via media visual, audio visual atau media cetak. Kata ulama dalam al-Quran sendiri menurut Quraish Shihab disebutkan sebanyak dua kali. Pertama, dalam konteks ajakan al-Qur'an untuk memperhatikan turunnya hujar dari langit, beraneka ragamnya buah-buahan, gunung, binatang dan manusia  yang kemudian diakhiri dengan ayat yang artiya:  Sesungguhnya yang takut kepada Allah, diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. Ayat ini menggambarkan bahwa yang dinamakan ulama adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah Swt yang bersifat  kauniyah (fenomena alam).  Kedua, dalam konteks pembicaraan al-Qur'an yang kebenaran dan kandungannya telah diakui (diketahui) oleh ulama Bani Israil, seperti  yang tersebut dalam surat As-Syu'ara ayat 197 yang artinya: “Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya”.
Lebih lanjut Quraish Shihab menguraikan bahwa berdasarkan kedua ayat di atas, maka dapat di ambil sebuah kesimpulan bahwa yang dimakud dengan ulama adalah orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang ayat-ayat Allah, baik yang bersifat kauniyah maupun  qur'aniyah, yaitu orang yang mampu memadukan dua potensi, yakni potensi pikir (terhadap ayat Allah yang bersifat kauniyah) dan dzikir (terhadap ayat Allah yang bersifat  qur'aniyah) dalam terminologi al-Quran disebut Ulul Albab[2].
Dalam dunia perpolitikan Indonesia, ulama sudah dikenal sejak lama jasanya dalam membentuk NKRI. Terbukti ulama sekaliber KH. Abdul Wahid Hasyim bapak dari KH. Abdurrahman Wahid mampu memainkan perannya dengan apik pada zaman kemerdekaan Indonesia dan bahkan termasuk dari Tim Formatur pembentukan asas NKRI yang lebih sering didengar dengan sebutan Pancasila. Tidak heran jika ulama zaman sekarang pun masuk dunia politik. Bukti yang paling real adalah tokoh NU KH. Abdurrahman Wahid yang lebih akrab disapa Gus Dur yang sekaligus menjadi Presiden RI pertama dari kalangan ulama/kyai. Akan tetapi sangat disayangkan jika kehadiran ulama justru berdampak pada pemarginalan pesantren dan santrinya atau para jama’ah majlis taklimnya. Ini yang sangat dikecam oleh berbagai ulama sepuh nusantara.
Parpol Islam yang dulunya didirikan oleh berbagai tokoh ulama nasional yang bertujuan menyelamatkan Indonesia dari politik jahat, sekarang malah menjadi lahan mencari uang para kader dan bahkan mencari popularitas lewat jalur para selebirtis demi memenangkan partainya pada pemilu. Fenemone ini pun berakibat buruk pada ulama yang memang berada pada parpol Islam itu, sehingga pamor mereka redup ketika mereka diajukan partai untuk maju sebagai  calon legislaif mewakili partai itu.
Sebenarnya, ulama yang maju menjadi calon anggota legislatif baik di tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi dan nasional adalah para ulama yang benar-benar memperhatikan sisi kepentingan umumnya dan mereka juga tidak berusaha melebur dasar negara Indonesia sebagai negara Islam, walaupun ada sebagian kecil yang bertujuan untuk politik praktis saja. Politik yang sebenarnya adalah politik yang harus diwarnai sebagai upaya manusia meraih kesempurnaan dan kemashlahatan. Dengan pemahaman ini, politik mempunyai nilai yang luhur, sakral dan tidak bertentangan dengan agama[3]. Statement yang diuraikan Gus Dur ini sudah terwakili oleh para ulama yang dengan niat tulus maju sebagai calon anggota dewan. Bukan sebagai justifikasi bahwa ulama buta dengan politik, karena pekerjaan mereka hanya ceramah dan ngajar kitab kuning serta khatib di masjid bukan ngurus negara.
Pasang surut ulama nyaleg berakibat pada munculnya sikap yang pro dan kotra terhadap langkah mereka. Dengan jalan memuluskan politik nasional dalam kubu parpol yang berasaskan Islami, mereka tak segan-segan meminang para ulama yang mempunyai kredebilitas, loyalitas, akuntabilitas dan yang terpenting adalah popularitas. Walhasil masyarakat awwam memandang bahwa jati diri ulama yang selalu dipandang orang yang menyejukkan hati seolah menjadi orang haus kekuasaan. Apalagi ulama yang dirangkul oleh politisi, sementara dia sendiri tidak memiliki skill dalam kancah politik, di sini kepentingan para politisi akan dapat menyetir ketulusan ulama, dan posisi ulama tidak lebih hanya sebagai “magnet” pemikat tanpa memberikan manfaat yang jelas bagi umat. Apalagi jika kondisi para ulama tidak satu kata dalam pandangan politik, dan hal inilah yang kerap terjadi di masyarakat. Maka imbasnya adalah timbul kerancuan umat seirama dengan perang urat saraf antar ulama yang berbeda dalam ijtihad politik[4]. Indonesia membutuhkan pakar politisi dari ulama yang berkualitas dan kuantitaf tinggi yang tidak dipakai popularitasnya demi suara partai belaka. Itulah, ulama yang berhak nyaleg atau menjadi calon anggota legislatif.
            Maka dari itu, perlu adanya upaya untuk menyadarkan masyarkat tentang langkah dan sikap para ulama yang maju dan terjun ke duina politik. Karena sejatinya Islam itu sangat memperhatikan politik. Itu terbukti pada kajian-kajian fiqh siyasi pada masterpiece sarjana Islam (baca: ulama) yang sangat detail menjelaskan dinamika perpolitikan Islam yang lebih dikenal dengan sebutan fiqh qodlo’ agar masyarkat bisa membedakan mana ulama yang berjuang memajukan moral politik bangsa dan ulama yang hanya menjadi mesin uang partai dan magnet rakyat karena popularitas, tapi kosong skill perpolitikan bangsa.


B.   Dilema Politik
           
            Politik nasional yang didefinisikan sebagai asas, haluan, usaha, tindakan serta kebijakan tindakan negara tentang pembinaan serta penggunaan secara menyeluruh potensi nasional, baik yang potensial maupun yang efektif, untuk tujuan nasional[5] masih tidak dimengerti oleh mayoritas rakyat Indonesia bahkan para calon anggota legislatif di semua tingkat nasional. Indonesia harus mencurahkan segenap kemampuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di setiap lini kehidupan rakyat. Dan itu jelas melalui tangan para pejabat pemerintah. Realisasi tujuan politik nasional akan goal jika rakyat sudah terpenuhi semua aspirasinya yang berskala nasional.

            Dinamika politik Islam sendiri bisa dimetaforakan seperti musim pertanian yang dibagi menjadi dua babak – menurut kuntowijoyo-. Pertama, musim menanam (kira-kira antara 1945-1950) dan kedua, musim menuai (sesudah tahun 1950)[6]. Pada Musim tanam politik Islam, umat Islam yang dapat dikategorikan secara sederhana dalam dua kelompok yakni kelompok Nasionalis (Sekuler) yang menolak penyatuan urusan agama dengan politik dan kelompok yang kedua adalah kelompok Islamis yang berkeyakinan bahwa ajaran agama Islam diwujudkan melalui dunia politik, memiliki paling tidak kesamaan musuh yaitu pemerintahan Kolonial Belanda. Semangat menanam inilah yang mungkin menjadikan dua organisasi umat Islam yang besar yakni NU (Nahdatul Ulama) dan Muhammadiyyah serta organisasi non partisan lainnya bersedia untuk "masuk ke pelaminan" dan membentuk satu "rumah tangga baru" politik yakni MIAI (Majelis Islam 'ala Indonesia).
            Sedangkan pada musim menuai, muncullah beragam partai politik Islam yang dimulai dengan partai Masyumi yang merupakan gabungan dari organisasi-organisasi Islam yang meliputi Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Sarekat Islam (SI) dengan rival beratnya Partai Komunis Nasional (PKI), meskipun setelah beberapa tahun kemudian NU menjadi parpol sendiri[7]. Dan mencapai puncaknya pada rezim orde reformasi ketika Gus Dur menjadi presiden RI.
            Dengan pasang surut perkembangan politik nasional terutama politik Islam sendiri yang cukup bergejolak, hal itu menjadikan para ulama tetap eksis untuk maju menjadi wakil rakyat bahkan menjadi kepala daerah mulai tingkat Kabupaten/Kota bahkan sampai tingkat nasional dengan berkaca kepada para pendahulu mereka. Pertimbaangan seperti itu memang tidak bisa disalahkan, karena kiprah dan peran ulama dalam ranah politik nasional cukup mempunyai porsi yang besar. Di sisi lain, para ulama sekarang terkesan bersikap karet (tarik-ulur) dan ragu-ragu untuk memutuskan dirinya terjun ke pentas dunia politik zaman sekarang yang bisa terbilang sangat kejam, dengan berlandaskan sebagian dawuh ulama sepuh dan “ijtihad politiknya” supaya tetap fokus pada kegiatan primer mereka yaitu mengajarkan syari’at Islam kepada masyarakat. Padahal, syari’at silam tidak cuma pada sholat, zakat dan haji, akan tetapi komprehensif pada setiap sisi kehidupan manusia.
            Dengan demikian, timbulah dilema politik yang merasuki sendi-sendi tubuh para ulama, sehingga sangat sulit sekali memutuskan untuk ikut serta dalam kancah politik nasional.

C.    Salahkah Ulama Berpolitik?

            Politik bangsa Indonesia sejak rezim penjajahan, orde lama, orde baru sampai rezim orde reformasi selalu diwarnai peran para ulama. Bahkan pada rezim penjajahan tidak ada gap antara tokoh Islam dengan tokoh agama lain, itu dikarenakan suasana sosial politik Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan memperlihatkan tidak adanya hambatan penting yang menghalangi hubungan politik antara arus utama intelektual Islam dengan kelompok nasionalis. Perdebatan di antara mereka mengenai corak hubungan antara Islam dengan negara seperti terhenti. Paling tidak untuk sementara, kedua kelompok ini mempunyai perbedaan ideologis. Pada saat itu, tampaknya muncul kesadaran bahwa seluruh bangsa harus menumpahkan energi dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda kembali memasuki wilayah Indonesia[8].
            Sampai pada rezim orde reformasi sekarang, eksistensi ulama dalam kancah politik tidak punah begitu saja. Justru, perkembangan moral positif politik bangsa disinyalir berkat pantulan peran para ulama. Sangat disayangkan jika keberadaan mereka di parlemen maupun di Eksekutif dikambing hitamkan atau dianak tirikan. Sebenarnya, Indonesia berhutang jasa kepada ulama yang sejak dulu berperan dalam carut marut politik bangsa sehingga bisa bangkit dari rezim kolonialis menuju rezim reformasis seperti ini.
            Sesuai UU RI no. 8 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah[9] keberadaan ulama dalam politik bukanlah tindakan yang naif ataupun abnormal karena mereka mempunyai hak untuk menjadi wakil rakyat sesuai persyaratan yang berlaku pada UU tersebut.
Pada dasarnya, ulama yang menjadi politisi justru ulama yang mempunyai kapabilitas tinggi dalam jurisprudence hukum ilahi, karena ulama yang seperti ini cakap dalam aplikasi fiqh qodlonya yang tidak hanya dipelajari tanpa adanya practice sama sekali. Merekalah yang bersedia menjalankan roda pemerintahan Indonesia dan tidak acuh tak acuh pada produk-produk hukum Indonesia. Tapi, yang perlu sangat diperhatikan dan garis bawahi bahwa kelegalan ulama yang berpolitik harus terpenuhi terlebih dahulu skill dan kemampuannya supaya terhindar dari pemanfaatan ulama sebagai icon partai dan magnet pendulang suara rakyat yang bisa berdampak pada penelantaran kegiatan primernya dan lebih menyibukkan pada politiknya.


Kesimpulan dan Penutup
 
            Ulama yang merupakan pewaris tunggal para nabi dalam mengajarkan syari’at Islam sangat ironis jika buta dinamika politik bangsa. Jejak rekam dunia politik Indonesia selalu diwarnai oleh tangan handal para ulama/kyai. Tidak heran jika politik Islam Indonesia mencapai puncaknya pada rezim Gus Dur yang berhasil menduduki kursi Istana Negara sesudah mengalahkan rival beratnya. Tidak hanya itu, masih banyak para ulama kompeten yang bernaungan di bawah payung Lembaga-Lembaga nasional dan Kementrian-Kementrian serta Dirjennya yang seslalu memainkan peran apiknya yang berskala nasional. Itu merupakan langkah apik nan nyentrik para ulama setelah terjun di dunia politik Indonesia.
Berpolitik bukanlah hal yang tabu bagi para ulama atau bagi siapapun yang rela bersedia memajukan moral politik bangsa, justru itu tantangan baru agar bisa diselami makna dalamnya. Saatnya menyadarkan masyarkat agar tidak berasusmsi buruk atau beropini negative terhadapa ulama yang berpolitik.


* Lutfi Ahsanuddin : Mahasiswa Fakultas Syari'ah ( Tingkat III ) Universitas Al Ahgaff, Tarim, Hadhramaut, Republik Yaman. /arm.





DAFTAR PUSTAKA



Abdullah, Taufik. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jilid V, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999.

Kuntowijoyo. 50 Tahun Sejarah Umat Islam. Impian Besar sering mengecewakan dalam: Abu Zahra, Politik Demi Tuhan. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999.

Politik Islam di Indonesia: Masyumi, (http://makalahmajannaii.blogspot.com, yang diakses pada April 2012).

Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional 2008.
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1996.

Syaerozi, Arwani. Ulama dan Politik. (http://arwani-syaerozi.blogspot.com, diakses pada April 2008).

Wahid, Abdurrahman. Politik Demi Tuhan. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.


[1]. Tujuan didirikannya bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 45 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
[2]. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996).
[3]. Abdurrahman Wahid, Politik Demi Tuhan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 22.
[4]. Arwani Syaerozi, Ulama dan Politik (http://arwani-syaerozi.blogspot.com, diakses pada April 2008).
[5]. Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional 2008).
[6]. Lihat, Kuntowijoyo, 50 Tahun Sejarah Umat Islam. Impian Besar sering mengecewakan dalam: Abu Zahra, Politik Demi Tuhan (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999), h. 187 dst.
[7]. Lihat, Politik Islam di Indonesia: Masyumi (http://makalahmajannaii.blogspot.com, yang diakses pada April 2012).
[8]. Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid. V (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), h. 435.
[9]. UU tentang Pemilu anggota DPRD, DPD dan DPR RI menjelaskan panjang lebar tentang syarat seseorang yang maju menjadi calon anggota legislatif yang ditanda tangani oleh Presiden dan siapapun berhak mencalonkan diri sesuai dengan persyartan yang berlaku pada Undang-Undang.