Oleh : Lutfi Ahsanudin *
Pendahuluan
Pesta rakyat segera dimulai, genderang
pemilihan umum 2014 sudah ditabuh sejak beberapa bulan yang lalu, media massa
mulai sibuk mengejar deadlines berita-berita aktual seputar perpolitikan
nasional. Banyak para bakal calon anggota dewan-mulai dari orang yang berwajah
klasik, orang yang berganti wajah, sampai para selebritis yang tak tahu menahu
makna politis- mulai mengembangkan sayapnya ke seantaro Sabang-Merauke untuk
menarik para simpatisan. Karena menjadi anggota dewan, yang notabenya orang
yang dihormati, berkuasa dan beruang, pasti menjadi objek penyerbuan para “tukang
pencari uang”.
Dewan
perwakilan rakyat yang lebih dikenal dengan DPR merupakan suatu instansi
pemerintahan yang mempunyai andil banyak dalam menjalankan roda pemerintahan
NKRI. Tapi, apa kata orang jika para anggota dewan hanya berambisi menjual diri
demi kekuasaan dan menimbun keuangan?. Citra DPR secara otomatis akan dipandang
sebelah mata oleh rakyat, dan kepercayaan rakyat akan luntur jika para anggota
dewan tidak menggemakan aspirasi rakyat. Opini publik jelas akan terbentuk
bahwa DPR orang yang kosong otaknya, tapi penuh “kotaknya”. Lebih dari itu,
gerakan bawah tanah yang tidak dinginkan akan bermunculan yang berdampak pada
lumpuhnya sistem pemerintahan Indonesia sehingga tidak bisa mewujudkan tujuan
didirikannya bangsa Indonesia sebagaimana tercantu dalam pembukaan UUD 45
alenia ke-4.
Akan
tetapi, tidak semua anggota dewan orang yang berambius pada hak pribadinya,
masih banyak para anggota dewan yang selalu berpegang teguh dalam menjalankan
tugasnya sebagai wakil rakyat. Tapi, semua itu tidak akan berarti bagi rakyat
jika aspirasi dan keinginan mereka selaku warga Negara Indonesia yang mempunyai
hak masing-masing tidak tersalurkan. Rakyat hanya akan menanti wakilnya yang
jujur, komitmen dan konsisten pada pendiriannya. Impian mereka tetap bertumpu
pada wakil mereka yang bersedia bersimbiosis mutualisme, sebab mereka
sudah memilih wakil rakyatnya dalam pemilu legislatif dan sudah percaya pada
dirinya.
Memang sudah
menjadi rahasia umum kalau DPR adalah lembaga yang para anggotanya ada yang terlibat
dalam kasus KKN. Problem itu membuat citra DPR semakin terpuruk. Banyak survei
nasional yang membuktikan bahwa DPR adalah termasuk lembaga terkorup. Kalau
dikaji dan ditelaah lebih logis, sebenarnya DPR perlu sebuah rasa kepercayaan
dari masyarakat agar citra lembaga tersebut tidak dipandang buruk.
Demi menjaga
stabilitas dan moralitas anggota dewan yang merupakan kader partai di setiap
fraksi di DPR, maka tak heran jika banyak partai yang berasaskan islamis
melenggang bebas maju ke pesta rakyat sejak sistem multipartai dianut
Indonesia. Mereka memainkan tokoh utama mereka yang lebih dikenal dengan
sebutan ulama. Tidak itu, partai yang berasakan nasionalis pun tak mau
ketinggalan dalam memfilter para kadernya untuk dijagokan dalam pemilu.
Akhrinya timbul sebuah dua pemandangan yang sangat kontras dalam carut marut
perpolitikan Indonesia. Para ulama yang dikenal dengan pengasuh masyarakat awwam,
penerus ajaran rasul dan penyejuk dahaga bagi orang yang gersang akan Islam,
akan lahir asumsi negatif jika terjun ke dunia politik praktis. Tapi, siapa
lagi yang akan menjamin Indonesia tetap akan sejahtera dan maju bersaing di
kancah internasional jika para wakil rakyatnya tidak mementingkan kepentingan
rakyat, malah mementingkan kantong sakunya? Dari sini, parpol Islam mulai
meminang para ulama yang dulunya tidak tahu menahu tentang politik demi
mewujudkan wakil rakyat yang bersih dan jujur, untuk ikut maju memenangkan
partainya dalam pemilu. Jika demikian, apa salah ulama berpolitik?
Pembahasan
A.
Fenemena Ulama Nyaleg
Ulama dalam hal ini meliputi para Kyai yang
terbiasa dengan lingkungan pesantren dan kitab kuningnya dan para Ustadz
yang membumikan syari’at Islam dengan jalur dakwah di berbagai majlis taklim
baik via media visual, audio visual atau media cetak. Kata ulama dalam al-Quran
sendiri menurut Quraish Shihab disebutkan sebanyak dua kali. Pertama,
dalam konteks ajakan al-Qur'an untuk memperhatikan turunnya hujar dari langit,
beraneka ragamnya buah-buahan, gunung, binatang dan manusia yang kemudian diakhiri dengan ayat yang
artiya: Sesungguhnya yang takut kepada
Allah, diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. Ayat ini menggambarkan bahwa
yang dinamakan ulama adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang
ayat-ayat Allah Swt yang bersifat
kauniyah (fenomena alam). Kedua,
dalam konteks pembicaraan al-Qur'an yang kebenaran dan kandungannya telah
diakui (diketahui) oleh ulama Bani Israil, seperti yang tersebut dalam surat As-Syu'ara ayat 197
yang artinya: “Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para
ulama Bani Israil mengetahuinya”.
Lebih lanjut Quraish Shihab menguraikan bahwa
berdasarkan kedua ayat di atas, maka dapat di ambil sebuah kesimpulan bahwa
yang dimakud dengan ulama adalah orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang
ayat-ayat Allah, baik yang bersifat kauniyah maupun qur'aniyah, yaitu orang yang mampu memadukan
dua potensi, yakni potensi pikir (terhadap ayat Allah yang bersifat kauniyah)
dan dzikir (terhadap ayat Allah yang bersifat
qur'aniyah) dalam terminologi al-Quran disebut Ulul Albab.
Dalam dunia perpolitikan Indonesia, ulama
sudah dikenal sejak lama jasanya dalam membentuk NKRI. Terbukti ulama sekaliber
KH. Abdul Wahid Hasyim bapak dari KH. Abdurrahman Wahid mampu memainkan
perannya dengan apik pada zaman kemerdekaan Indonesia dan bahkan termasuk dari
Tim Formatur pembentukan asas NKRI yang lebih sering didengar dengan sebutan
Pancasila. Tidak heran jika ulama zaman sekarang pun masuk dunia politik. Bukti
yang paling real adalah tokoh NU KH. Abdurrahman Wahid yang lebih akrab disapa
Gus Dur yang sekaligus menjadi Presiden RI pertama dari kalangan ulama/kyai.
Akan tetapi sangat disayangkan jika kehadiran ulama justru berdampak pada
pemarginalan pesantren dan santrinya atau para jama’ah majlis taklimnya.
Ini yang sangat dikecam oleh berbagai ulama sepuh nusantara.
Parpol Islam yang dulunya didirikan oleh
berbagai tokoh ulama nasional yang bertujuan menyelamatkan Indonesia dari
politik jahat, sekarang malah menjadi lahan mencari uang para kader dan bahkan
mencari popularitas lewat jalur para selebirtis demi memenangkan partainya pada
pemilu. Fenemone ini pun berakibat buruk pada ulama yang memang berada pada
parpol Islam itu, sehingga pamor mereka redup ketika mereka diajukan partai
untuk maju sebagai calon legislaif
mewakili partai itu.
Sebenarnya, ulama yang maju menjadi calon
anggota legislatif baik di tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi dan nasional adalah
para ulama yang benar-benar memperhatikan sisi kepentingan umumnya dan mereka
juga tidak berusaha melebur dasar negara Indonesia sebagai negara Islam,
walaupun ada sebagian kecil yang bertujuan untuk politik praktis saja. Politik
yang sebenarnya adalah politik yang harus diwarnai
sebagai upaya manusia meraih kesempurnaan dan kemashlahatan. Dengan pemahaman
ini, politik mempunyai nilai yang luhur, sakral dan tidak bertentangan dengan
agama.
Statement yang diuraikan Gus Dur ini sudah terwakili oleh para ulama yang
dengan niat tulus maju sebagai calon anggota dewan. Bukan sebagai justifikasi
bahwa ulama buta dengan politik, karena pekerjaan mereka hanya ceramah dan
ngajar kitab kuning serta khatib di masjid bukan ngurus negara.
Pasang surut ulama nyaleg berakibat pada
munculnya sikap yang pro dan kotra terhadap langkah mereka. Dengan jalan
memuluskan politik nasional dalam kubu parpol yang berasaskan Islami, mereka
tak segan-segan meminang para ulama yang mempunyai kredebilitas, loyalitas,
akuntabilitas dan yang terpenting adalah popularitas. Walhasil masyarakat awwam
memandang bahwa jati diri ulama yang selalu dipandang orang yang menyejukkan
hati seolah menjadi orang haus kekuasaan. Apalagi ulama yang dirangkul oleh
politisi, sementara dia sendiri tidak memiliki skill dalam kancah politik, di
sini kepentingan para politisi akan dapat menyetir ketulusan ulama, dan posisi
ulama tidak lebih hanya sebagai “magnet” pemikat tanpa memberikan manfaat yang
jelas bagi umat. Apalagi jika kondisi para ulama tidak satu kata dalam
pandangan politik, dan hal inilah yang kerap terjadi di masyarakat. Maka
imbasnya adalah timbul kerancuan umat seirama dengan perang urat saraf antar
ulama yang berbeda dalam ijtihad politik.
Indonesia membutuhkan pakar politisi dari ulama yang berkualitas dan kuantitaf
tinggi yang tidak dipakai popularitasnya demi suara partai belaka. Itulah,
ulama yang berhak nyaleg atau menjadi calon anggota legislatif.
Maka
dari itu, perlu adanya upaya untuk menyadarkan masyarkat tentang langkah dan
sikap para ulama yang maju dan terjun ke duina politik. Karena sejatinya Islam
itu sangat memperhatikan politik. Itu terbukti pada kajian-kajian fiqh
siyasi pada masterpiece sarjana Islam (baca: ulama) yang sangat
detail menjelaskan dinamika perpolitikan Islam yang lebih dikenal dengan
sebutan fiqh qodlo’ agar masyarkat bisa membedakan mana ulama yang
berjuang memajukan moral politik bangsa dan ulama yang hanya menjadi mesin uang
partai dan magnet rakyat karena popularitas, tapi kosong skill perpolitikan
bangsa.
B. Dilema Politik
Politik nasional yang didefinisikan sebagai
asas, haluan, usaha, tindakan serta kebijakan tindakan negara tentang pembinaan
serta penggunaan secara menyeluruh potensi nasional, baik yang potensial maupun
yang efektif, untuk tujuan nasional
masih tidak dimengerti oleh mayoritas rakyat Indonesia bahkan para calon
anggota legislatif di semua tingkat nasional. Indonesia harus mencurahkan
segenap kemampuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di setiap lini
kehidupan rakyat. Dan itu jelas melalui tangan para pejabat pemerintah.
Realisasi tujuan politik nasional akan goal jika rakyat sudah terpenuhi
semua aspirasinya yang berskala nasional.
Dinamika politik Islam sendiri bisa
dimetaforakan seperti musim pertanian yang dibagi menjadi dua babak – menurut
kuntowijoyo-. Pertama, musim menanam
(kira-kira antara 1945-1950) dan kedua, musim menuai (sesudah tahun
1950).
Pada Musim tanam politik Islam, umat Islam yang dapat dikategorikan secara
sederhana dalam dua kelompok yakni kelompok Nasionalis (Sekuler) yang menolak
penyatuan urusan agama dengan politik dan kelompok yang kedua adalah kelompok Islamis
yang berkeyakinan bahwa ajaran agama Islam diwujudkan melalui dunia politik,
memiliki paling tidak kesamaan musuh yaitu pemerintahan Kolonial Belanda.
Semangat menanam inilah yang mungkin menjadikan dua organisasi umat Islam yang
besar yakni NU (Nahdatul Ulama) dan Muhammadiyyah serta organisasi non partisan
lainnya bersedia untuk "masuk ke pelaminan" dan membentuk satu
"rumah tangga baru" politik yakni MIAI (Majelis Islam 'ala
Indonesia).
Sedangkan pada musim menuai, muncullah
beragam partai politik Islam yang dimulai dengan partai Masyumi yang merupakan
gabungan dari organisasi-organisasi Islam yang meliputi Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah dan Sarekat Islam (SI) dengan rival beratnya Partai Komunis
Nasional (PKI), meskipun setelah beberapa tahun kemudian NU menjadi parpol
sendiri.
Dan mencapai puncaknya pada rezim orde reformasi ketika Gus Dur menjadi
presiden RI.
Dengan
pasang surut perkembangan politik nasional terutama politik Islam sendiri yang
cukup bergejolak, hal itu menjadikan para ulama tetap eksis untuk maju menjadi
wakil rakyat bahkan menjadi kepala daerah mulai tingkat Kabupaten/Kota bahkan
sampai tingkat nasional dengan berkaca kepada para pendahulu mereka.
Pertimbaangan seperti itu memang tidak bisa disalahkan, karena kiprah dan peran
ulama dalam ranah politik nasional cukup mempunyai porsi yang besar. Di sisi
lain, para ulama sekarang terkesan bersikap karet (tarik-ulur) dan
ragu-ragu untuk memutuskan dirinya terjun ke pentas dunia politik zaman
sekarang yang bisa terbilang sangat kejam, dengan berlandaskan sebagian dawuh
ulama sepuh dan “ijtihad politiknya” supaya tetap fokus pada kegiatan
primer mereka yaitu mengajarkan syari’at Islam kepada masyarakat. Padahal,
syari’at silam tidak cuma pada sholat, zakat dan haji, akan tetapi komprehensif
pada setiap sisi kehidupan manusia.
Dengan
demikian, timbulah dilema politik yang merasuki sendi-sendi tubuh para ulama,
sehingga sangat sulit sekali memutuskan untuk ikut serta dalam kancah politik
nasional.
C.
Salahkah Ulama Berpolitik?
Politik bangsa Indonesia sejak rezim
penjajahan, orde lama, orde baru sampai rezim orde reformasi selalu diwarnai
peran para ulama. Bahkan pada rezim penjajahan tidak ada gap antara
tokoh Islam dengan tokoh agama lain, itu dikarenakan suasana
sosial politik Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan memperlihatkan
tidak adanya hambatan penting yang menghalangi hubungan politik antara arus
utama intelektual Islam dengan kelompok nasionalis. Perdebatan di antara mereka
mengenai corak hubungan antara Islam dengan negara seperti terhenti. Paling
tidak untuk sementara, kedua kelompok ini mempunyai perbedaan ideologis. Pada
saat itu, tampaknya muncul kesadaran bahwa seluruh bangsa harus menumpahkan
energi dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri
dan mencegah Belanda kembali memasuki wilayah Indonesia.
Sampai
pada rezim orde reformasi sekarang, eksistensi ulama dalam kancah politik tidak
punah begitu saja. Justru, perkembangan moral positif politik bangsa disinyalir
berkat pantulan peran para ulama. Sangat disayangkan jika keberadaan mereka di
parlemen maupun di Eksekutif dikambing hitamkan atau dianak tirikan.
Sebenarnya, Indonesia berhutang jasa kepada ulama yang sejak dulu berperan
dalam carut marut politik bangsa sehingga bisa bangkit dari rezim kolonialis
menuju rezim reformasis seperti ini.
Sesuai
UU RI no. 8 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
keberadaan ulama dalam politik bukanlah tindakan yang naif ataupun abnormal
karena mereka mempunyai hak untuk menjadi wakil rakyat sesuai persyaratan yang
berlaku pada UU tersebut.
Pada
dasarnya, ulama yang menjadi politisi justru ulama yang mempunyai kapabilitas
tinggi dalam jurisprudence hukum ilahi, karena ulama yang seperti
ini cakap dalam aplikasi fiqh qodlonya yang tidak hanya dipelajari tanpa
adanya practice sama sekali. Merekalah yang bersedia menjalankan roda
pemerintahan Indonesia dan tidak acuh tak acuh pada produk-produk hukum
Indonesia. Tapi, yang perlu sangat diperhatikan dan garis bawahi bahwa kelegalan
ulama yang berpolitik harus terpenuhi terlebih dahulu skill dan kemampuannya
supaya terhindar dari pemanfaatan ulama sebagai icon partai dan magnet
pendulang suara rakyat yang bisa berdampak pada penelantaran kegiatan primernya
dan lebih menyibukkan pada politiknya.
Kesimpulan dan Penutup
Ulama yang merupakan pewaris tunggal para nabi
dalam mengajarkan syari’at Islam sangat ironis jika buta dinamika politik
bangsa. Jejak rekam dunia politik Indonesia selalu diwarnai oleh tangan handal
para ulama/kyai. Tidak heran jika politik Islam Indonesia mencapai puncaknya
pada rezim Gus Dur yang berhasil menduduki kursi Istana Negara sesudah
mengalahkan rival beratnya. Tidak hanya itu, masih banyak para ulama kompeten
yang bernaungan di bawah payung Lembaga-Lembaga nasional dan
Kementrian-Kementrian serta Dirjennya yang seslalu memainkan peran apiknya yang
berskala nasional. Itu merupakan langkah apik nan nyentrik para ulama setelah
terjun di dunia politik Indonesia.
Berpolitik
bukanlah hal yang tabu bagi para ulama atau bagi siapapun yang rela bersedia memajukan
moral politik bangsa, justru itu tantangan baru agar bisa diselami makna
dalamnya. Saatnya menyadarkan masyarkat agar tidak berasusmsi buruk atau
beropini negative terhadapa ulama yang berpolitik.
* Lutfi Ahsanuddin : Mahasiswa Fakultas Syari'ah ( Tingkat III ) Universitas Al Ahgaff, Tarim, Hadhramaut, Republik Yaman. /arm.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam. Jilid V, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999.
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Quran,
Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1996.