Pages

Monday, November 18, 2013

MENGACA PADA KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA HADHRAMAUT

Oleh : Lutfi Ahsanudin

A.    Pendahuluan
Islam yang notebenya merupakan agama penyempurna bagi agama-agama sebelumnya telah banyak memainkan perannya di muka bumi ini dalam konteks History of Religion-nya, sehingga lebih dari dua pertiga daratan bumi ditemukan masyarakat yang memeluk agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw. Bukan dengan cara ikrohan dan unwatan, akan tetapi dengan cara luthfan dan rahmatan dalam penyebarannya untuk mengajak bahwa tidak ada tuhan yang pantas disembah kecuali Allah Swt. Sebelum nabi Muhammad pun syi’ar pengesaan Allah Swt. lewat para utusan-Nya telah menggema di muka bumi ini, tak terkecuali bumi Hadhramaut yang merupakan daerah selatan Jazirah Arab.
Menurut data historis, Hadhramaut merupakan daerah di mana nabi Hud AS diutus untuk kaum Ad’ yang terkenal akan keperkasaanya. Al-Qur’an menyebutkan Hadhramaut sebanyak 17 kali dengan nama al-Ahqof yang berarti bukit-bukit pasir atau lembah pasir. Kaum Ad’ dianggap sebagai populasi manusia pertama di muka bumi yang menempati Hadramuat. Beribu-ribu sejarah telah terukir di tanah ini sejak Hadhrmaut kuno yaitu pada masa nabi Hud AS sampai masa hijrahnya keturunan Rasulullah Ahmad bin Isa yang bergelar al-Muhajir Illahh dari Iraq karena fitnah ajaran Syi’ah yang berkembang pesat disana. Dari beliaulah Hadhramaut yang tadinya berkembang pesat aliran Ibadhiyyah, Syi’ah dan Khawarij menjadi aliran Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dari situlah kehidupan sosial budaya Islam Ahlussunnah di Hadharamaut sangat ketara berkat tangan handal para wali Allah dan ulama di bumi tersbut. Dan sampai sekarang Hadhramaut di kenal dengan wilayah yang mayoritas di huni oleh para habaib atau para keturunan rasulullah SAW.

B.     Sejarah Singkat Hadhramaut Pra Islam dan Pasca Islam
Pra Islam, Hadhramuat merupakan wilayah kerajaan yang sangat di takuti oleh bangsa lain. Sejak wafatnya nabi Hud AS, Hahdhramut di bawah kerajaan Qahthan yang masyaraktanya menyembah berhala yang berkuasa sekitar 10-18 abad SM. Dari dinasti inilah semua keturunan bangsa Arab dan suku Arab di muka bumi ini berasal. Dinasti ini berasal dari nama seorang keturunan nabi Nuh AS yang bernama lengkap Qahthan bin ‘Abir bin Syalekh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh. Salah satu anak keturunannya berjuluk Hadhramaut karena setiap hadir perang dari pihak musuh banyak korban berjatuhan. Maka tanah itu dinamakan Hahdramaut. Dan masih banyak lagi pendapat ulama sejarah tentang asal muasal nama Hadhramaut. Selain Hadhramaut masih banyka lagi keturunan-keturunan Qahthan, diantarnya Ya’rib bin Qahthan, saudara tua Hadhramaut sang penguasa agung negeri Saba’ (sekarang Ma’rib). Kekuasaan dinasti Qahtan terus berlanjut di Hadharamut selama berabad-abad sampai akhirnya dikuasai dinasti Ma’in yang juga masih keturuna dari dinasti Qahthan.
Dinasti selanjutnya yang berkuasa didaerah Yaman adalah dinasti Ma’in yang berkuasa dari 1500-850 tahun SM. Kemudian dinasti Saba’-yang sangat terkenal dengan bendungannya untuk irigasi pertanian negerinya-sebagimana yang dituturkan dalam Al- Qur’an ketika kaum Saba’ di munaskan karena kufur akan nikamat Allah Swt. Dinasti ini berkuasa sejak 850-115 tahun sebelum Islam. Dinasti Himyar kemudian mengambil alih kekuasan wilayah ini mulai dari tahun 165 SM-525 M yang mana dinasti ini terkanal akan kafasihan dalam bahasa Arab fushahnya.
Himyar salah satu daerah di negeri Saba’. Sebagian orang malah menyebutnya Saba’, bukan Himyar. Dinasti Himyar berdiri setelah Dinasti Saba’ sekitar 165 SM hingga 525 M. Ibu kotanya Dzafar. Orang-orang Habasyah (Afrika) pernah menyerang dan meruntuhkan Dinasti Himyar. Namun kemudian mereka diusir dan kekuasaan direbut kembali oleh keturunan Himyar. Pahlawan Arab yang populer saat itu adalah Saif bin Dzi Yazin al-Himyari yang disokong Persia (Iran dan sekitarnya). Persia menguasai pemerintahan di Yaman, Hadhramaut, Iraq, dan Bahrain sampai era kedatangan Islam. Raja-raja yang paling terkenal sebagai penguasa Hadhramaut kala itu adalah Syamar Yar'asy (dijuluki dengan nama Raja Saba’ dan Raja Dzi Raidan), raja Hadhramaut, dan Syarahbil bin Ya'fubin Abi Karib As'ad yang menguasai Dinasti Dzi Raidan Hadhramaut dan Yamanat (Yaman). Dialah raja yang membangun bendungan Ma'rib pada pertengahan abad kelima masehi.
Setelah runtuhnaya dinasti Himyar, Yaman di bawah dua kerajaan yang berkuasa; dinasti Hadhramaut dan dinati Kindah. Dari dua dinasti ini, terlahir raja-raja bak jamur tumbuh subur dari tahta ketahta sampai datangnya Islam. Ketika Islam datang, Hadhramaut masih tetap dikuasai oleh raja-raja dari kedua dinasti tersebut. Diantara raja yang paling terkenal adalah Jamada, Masyraha, Makhusha dan Ratu 'Amrada. Dan pada dinasti Kindah inilah Islam mulai muncul di daerah Hadhramaut dan sekitarnya setelah masyarkat dinasti Kindah mendengar telah datang utusan dari Allah yang akhirnya mereka memutuskan untuk berpergian menuju Madinah sekitar tahun 10 H menempuh beratus-ratus kilo yang di pimpin oleh Asy’ast bin Qois Al-Kindy  yang menikah dengan saudari Abu Bakar RA yang bernama Ummu Farwa binti Abu Quhafa. Nabi juga meminang saudari Asy’ast yang bernama Qatilah binti Qois akan tetapi Asy’ast meninggal dunia sebelum Qatilah datang ke Madinah.
Mulailah terjalin hubungan persaudaraan Islam antara Madinah dan Yaman khussunya Hadhramaut sehingga Rasulullah mengutus para sahabat ke Yaman dan sekitarnya untuk mengajarkan dan menyebarkan Islam secara universal dengan tujuan agar visi dan misi agama Islam bisa terealisasikan. Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari adalah tokoh pertama dalam penyebaran Islam di kawasan Arab selatan yang diutus oleh nabi. Dari riawayat Ubaid bin Shokr, Ibn Hajar mengatakan bahwa Muadz ketika diutus nabi, dia tiba di daerah as-Sukun dan Abu Musa al-Asy’ari tiba di daerah as-Sakaasik sampai kedunya bertemu dan akhirnya mereka tiba di Hadhramaut (untuk menyebarkan Islam). Selain mereka berdua, nabi juga mengutus sahabat Ziyad bin Lubaid al-Anshariy al-Khazrajiy RA ke Hadhramaut langsung. Dia mengahabiskan waktunya di daerah Tarim dan Syibam sejak akhir masa nabi sampai khalifah Umar bin Khattab.
Sampai akhirnya Islam bertahun tahun berada di Hadhramaut dengan pasang surut problematika mulai dari kasus murtadnya sebagian orang-orang Islam pada masa Abu Bakar, sampai munculnya fitnah yang meyebabkan aliran Ibadhiyyah dan Syi’ah serta Khawarij masuk di wilayah tersebut.
Di mulai setelah hijrahnya Ahmad bin Isa al-Muhajir ke Yaman dan bertempat di daerah Dau’an (Provinsi Hadhramaut sekrang) pada tahu 317 H setelah meniggalkan Makkah dan Madinah yang sebleumnya disinggahi kemudian menlanjutkan perjalannya karena ada fitnah Gharamithah, mulalilah ajaran Islam Ahlussunah yang dibawanya merebak luas dan menggeser posisi Syi’ah dan Khawarij serta Ibadhiyyah di sana, walaupun masih ditemukan kaum minoritas yang memeluk aliran tersebut. Sampai akhirnya banyak dari keturunan Ahmad bin Isa yang menjadi ulama dan wali serta dai-dai di kawasan tersebut bahkan penyebar Islam ke Nusantara, Asia Timur dan Tenggara.
Dari situlah mulai kelembutan dan kearifan Islam tumbuh di kawasan Hadhramaut sampai sekarang, walaupun setelah Islam masuk Hadharamaut masih dibawah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam. Dan berpuluh-puluh juta keturunan Ahmad bin Isa yang di kenal dengan sebutan habaib mejadi tonggak utama berkembanganya corak sosial budaya Islam yang berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah. Dengan kelembutan dan keramahannya menjadikan masayarkat Yaman dan Hadhramaut khususya menjadi lebih ramah, santun, sopan dan sangat menghormati. Hal ini sudah di buktikan oleh nabi jauh-jauh sebelum Islam menyeluruh di kawasan tersebut dengan sabdnya :“Datang kepada kalian penduduk Yaman, mereka lebih ramah perasaannya dan lebih lembut hatinya, iman adalah pada penduduk Yaman, dan hikmah kemuliaan ada pada penduduk Yaman .” (HR  Bukhari).

C.    Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Hadharmaut
Secara sosial masyarakat Hadhramaut merupakan masyarakt Islam yang masih sangat memegang teguh syari’at agama dan memegang teguh apa-apa yang di lakukan para ulama Hadhramaut sejak dulu. Itu terbukti dengan banyaknya ritual-ritual keagamaan yag mereka lakukan yang kemungkinan tidak akan ada di negara Islam lainnya di dunia ini. Acara agama tersebut merupakan hasil dari ijtihad ulama dulu yang dilestarikan dengan jalan mengadakan perayaan setiap tahun. Sebut saja seperti shalat qodlo shalat maktubah berjumlah 17 raka’at yang dilaksanakan pada hari Jum’at akhir setiap bulan Ramadhan di ‘Inat (daerah di provinsi Hadhramaut). Shalat tersebut dijalankan oleh mayoritas masyarkat Hadhramaut yang merupakan hasil dari ijtihad Habib Syeikh Abu Bakar bin Salim dengan tujuan agar berjaga-jaga manakala sewaktu-waktu ada shalat lima waktu yang lupa tidak didirikan semenjak satu tahun sebelumnya. Bukan untuk sengaja meninggalkan shalat dalam masa satu tahun tersebut dan kemudian di qadlo pada hari itu. Berbeda dengan halnya jika ada seseorang ingat bahwa ada shalat wajib yang belum ia didirikan, maka wajib hukumnya untuk mengqadlanya. Dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan sosial keagamaan di Hadhramaut.
Dalam segi budaya secara umum, Hadhramaut ibarat kertas putih yang sama seklai tidak dijamah oleh budaya lain, apalagi budaya Barat. Islam masih menjadi satu-satunya manifestasi budaya di Hadhramaut yang masih kental. Tak heran jika sebagian golongan menganggap Hadhramaut adalah Islam yang sangat kolot, bahkan Islam yang Ortodok dan Radikal. Sebenarnya dalam Islam tidak ada label Islam Tradisonal, Islam Moderat, Islam Radikal, apalagi Islam Liberal. Itu hanya terminologi yang dilabelkan oleh kaum Barat. Karena agama Islam semuanya berlandaskan Al-Qur’an dan hadist-hadist nabi yang senantiasa mengedepankan sifat toleransi dan keramaahan kepada setiap mahluk. Islam pun tidak memaksa kepada seseorang untuk memeluk agama Islam. Memang substansi istilah-istilah penggolongan Islam itu ada dan muncul di kaum muslimin. Hal itu karena perbedaan interpretasi setiap individu muslim yang terkadang agak nyeleneh dan tidak sejalan dengan mayoritas ulama pendahulu. Bukan karena Islam itu turun dari Allah Swt. dan sudah digolong-golongkan seperti itu.
Dalam segi sosial keagaaman, hadharim (sebutan untuk orang-orang Hadhramut) senantiasa berpegang teguh  pada syariat Islam. Terbukti dengan banyaknya kaum wanita yang masih memepertahnkan syari’at untuk memakai cadar dan untuk tidak keluar rumah kecuali ada hal yang mendesak. Walaupun itu dianggap sangat kolot, tapi itu merupakan bukti bahwa syari’at masih dipegang secara totalitas. Bukan malah membuktikan bahwa mereka itu lebih suci dari yang tidak bercadar. Terlepas dari kedinamisan dan elastifitas  syari’at Islam (murunat as-syariah al-islamiyah) yang membolehkan wanita tidak memakai cadar dengan landasan lebih mengedepankan maslahat hubungan sosial kemasyaraktan agar selalu berdampingan dengan damai satu sama lain, wanita yang memakai cadar tidak selayaknya dimarginalkan atau dikucilkan bahkan dihina terutama para wanita di kota Tarim Hadhramaut. Kalau kemashlahatan dan hak asasi manusia setiap individu menjadi tolak ukur dan landasan diperbolehkannya wanita tidak memakai cadar, para wanita yang memakai cadar pun itu memandang bahwa kemashlahatan-karena maraknya maksiat dan fitnah sehingga mereka bercadar-dan hak asasi manusia merupakan tolak ukur dan landasan mereka untuk mempertahankan mereka bercadar. Jika wanita yang tidak bercadar beralasan karena mengedepankan kemashlahatan dan HAM, apakah salah mereka yang bercadar beralasan seperti itu juga?. Tidak ada yang salah antara yang bercadar dan tidak bercadar selama kedua-duanya masih berpegang dengan syari’at Allah Swt. karena kemungkinan yang bercadar tidak lebih mulia di sisi Allah dari pada yang tidak bercadar dan sebaliknya. Begitu juga orang yang berjubah tidak lebih mulia di sisi Allah Swt. dari pada yang tidak berjubah dan sebaliknya.
Dalam ranah pendidikan, masyrakat Hadhramaut mayoritas mengedapankan belajar syari’at Islam. Itu di tandai dengan banyaknya lembaga pendidikan baik yang berupa Universitas ataupun Rubath-Rubath (pesantren), didirikan di Hadhramaut terutama kawasan Tarim yang terkenal dengan kota pendidikan yang pernah dinobatkan oleh dunia Internasional sebagai Capital of Islamic Culture pada tahun 2010. Ada sebagian masyarakat yang tentu saja memprioritaskan untuk mendalami sains dan tekhnologi. Itu pun setelah putra dan putri mereka dididik agama sejak kecil. Itulah keseimbangan antar ilmu agama dan ilmu sains yang kedua-duanya harus melekat pada setiap individu muslim agar Islam menjadi agama yang bertengger di posisi paling atas sebagaimana Islam dulu di spayol.
Walhasil, masyarakat Hadhramaut tidak mengedapankan ilmu agama saja. Bahkan banyak dari putra-putra tokoh masyarakat dan habaib Hadhramaut digembleng ilmu sains dan tekhnologi setelah mereka dibekali ilmu keagamaan yang menjadi bekal mereka daalam kehidupan bersosial dan bermasyarkat.


D.    Saatnya Nusantara berkaca pada Hadhramaut
Sudah tidak diragukan lagi bahwa Islam masuk ke Nusantara terutama Jawa dibawa oleh penyebar Islam dari Hadhramaut setelah mereka singgah di daerah Gujarat India yang dipelopori oleh keluarga besar Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, beliau masih keturunan Syekh Muhammad Shahib Mirbath dari Hadramaut. Mereka memutuskna untuk melanjutkan berlayar menuju kawasan Asia Tenggara setelah India diduduki kolonial Inggris pasca dibuknya terusan Suez (qanatus suwais) di Mesir  yang berdampak banyaknya kolonial Eropa yang berkeinginan untuk melakukukan invasi di daerah Asia.
Dari situ dapat dismpulkan, bahwa “nenek moyang” dan “orang tua” orang-orang Islam Indonesia adalah hadharim. Sangatlah riskan dan ironis jika seorang anak tidak mencerminkan sifat orang tuaya. Menurut ahli kedokteran pun mengatakan bahwa genetika dari seorang bapak atau ibu pasti akan menurun ke anaknya. Kalau begitu, orang Islam Indonesia sudah pasti ada sifat genetika dari orang Islam Hadhramaut seperti keramahan dan kesantunannya. Akan tetapi, sifat-sifat itu seolah mulai luntur dalam jiwa muslim Indonesia.
Faktor utama yang menjadikan lunturnya “jiwa Islam” adalah westernisasi budaya yang semakin hari semakin mendarah daging di Indonesia. Jika seorang anak bisa berubah 180 derajat sifatnya ke sifat orang tuanya ketika lingkungannya menjadikan dia anak yang nakal. Muslim indoneisa pun pasti bisa seperti itu. Dengan cara nasihat dan terapi meyadarkan muslimin Indonesia agar mereka kembali seperti induknya adalah salah satu upaya untuk back to Hadhramaut. Sebagaimana seorang induk harus berusaha menjadikan sang anak tetap pada keinginan dan kemauan sang induk, tidak salah kalau banyak mahasiswa dan pelajar Indonesia belajar di Hadhramaut supaya terbentuk karakter seperti induknya. Hal itu bukan berarti pelajar Indonesia agar menjadi seperti orang Hadhramaut sepenuhnya, akan tetapi agar menjadi muslim seperti muslim di sana. Karena seorang anak juga tidak mesti serupa dengan orang tuanya seratus persen.
Saatnya  muslimin Indonesia harus mau mengaca kepada masyarakat Hadhramaut dalam menjalankan syaria’t Islam. Harus berani bersikap nekad untuk bisa kembali ke asalnya. Kalau seorang anak bisa nekad menjadi nakal, mengapa dia tidak berani nekad menjadi jati dirinya yang sebenarya?
Dan saatnya orang-orang Indonesia juga mengaca pada Hadharamaut dalam kehidupan sosial budayanya yang selalu menjadikan Islam sebagai manifestasi hidup mereka. Berusaha menjunjung tingi nilai-nilai sopan santun dan kearfian sebagaimana yang Islam ajarkan dan mau menyadari bahwa dirinya adalah seorang muslim yang lembut dan santun, bukan seorang yang bengis dan kejam. Mau menghidupkan lagi kegiatan-kegiatan agama seperti maulid nabi, yasinan dan tahlilan dan selalu menjunjung tinggi education balancing antara ilmu agama dan sains yang tidak berat sebelah. Yang berkeinginan mendalami sains, hendaknya memiliki bekal benih agama yang tertanam di dalam hatinya agar bisa menjadikan dia ilmuwan yang berkualitas, yang tidak silau akan harta, apalagi sampai mau disuap ataupun korupsi. Dan yang mendalami Islam pun hendaknya mengetahui bagaimana pentingnya sains dan tekhnologi dan tahu apa itu urgenitas ilmu pengetahuan umum buat kehidupan sehari-hari dan kemajuan Islam.
Wahai muslimin Indonesia, sadarlah dan kembalilah ke jati dirimu yang sebenarnya. Seokor rusa yang kejam pasti tahu bahwa dirinya adalah rusa, bukan harimau sang pemangsa. Apakah patut orang Islam Indonesia kalah dengan tingkah laku rusa?


* Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al Ahgaff Fak. Syari'ah Semester 7 Alumni Pon. Pes. Al Hikmah tahun 2009

Monday, November 04, 2013

Al Hikmah Yaman Gelar Haol ke-2 KH. Moch. Maruri Abdul Mughni

Tarim- Al Hikmah Yaman kembali menggelar acara haul kedua kalinya untuk pengasuh PP. Al Hikmah 2, Romo KH. Moch. Masruri Abdul Mughni ahad malam (27/10).
Tepat ba'da isya waktu setempat (19.00 KSA) Acara segera dibuka dengan pembacaan surat al fatihah, kemudian khataman Al Qur'an bersama, dan dilanjut dengan Tahlil. Runtutan acara tersebut mengalir khidmat dengan dipandu langsung oleh Gus Zahid.
Turut hadir dalam acara ini sekitar 50 peserta undangan  yang notabene memiliki hubungan dan keterikatan dengan Abah Masrur ataupun PP. Al Hikmah.
"Haul kauli ini diadakan untuk mengenang sepeninggalnya sang abah dua tahun silam di tanah suci setelah peribadatan ibadah hajinya dan dikebumikan di pemakaman Baqi' ", tutur M. Fuad Mas'ud selaku ketua Forum Al Hikmah Yaman 2013 dalam sambutannya.
Selain Haul, Acara ini pula sengaja diadakan dalam rangka walimatu safar lulusan Al Ahgaff alumni PP. Al Hikmah, Fuad Zein, Bsc. 
" setelah menjalani 5 tahun masa pendidikan di kota Tarim, akhirnya tibalah saatnya saya mengabdikan diri untuk kampung halamanna", kutif Zein dalam sambutannya berbahasa Arab.
Acara ditutup pukul 22.00 KSA dengan pembacaan do'a oleh Syeikh Faqih at Tanzani dan makan malam bersama. #ahk

Saturday, August 17, 2013

“Meneladani Kiprah dan Rekam Jejak Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori”




Oleh : Thohirin Shodiq eL Syirbony*

 “Syekh Abdul Wahab bercerita dari Syekh Zakariya sendiri. Beliau bercerita, selama ada di al-Azhar, aku sering kelaparan karena tidak punya uang untuk membeli makanan. Akhirnya, aku keluar mencari kulit semangka lalu dicuci dan dimakan.”



  


     I.            Prolog


Figure atau sosok dari sang tokoh fenomenal yang telah memberi sumbangsih peradaban merupakan hal yang relevan untuk dikaji sebagai teladan. karena tidak semua ulama’ mempunyai rekam jejak yang mana dengan mudah kita peroleh begitu saja, sulitnya menemukan beberapa jejaknya karena mereka menyembunyikan amal baiknya dari khalayak ramai atau awam. Berangkat dari sebuah kebutuhan, maka perlunya dilakukan riset ilmiah guna membukukan biografi atau sekedar selayang pandang sang tokoh sebagai bahan kajian.
Zakariya Al-Anshori yang masyhur dengan Syaikhul Islam, adalah salah satu ulama yang mempunyai andil didalam kodifikasi ilmu islam. Karya beliau tidak hanya terbatas di satu bidang melainkan di berbagai bidang.

    II.            Nama Lengkap dan Nasab Syaikh Zakariya Al-Anshori.

Nama lengkap Syaikh Zakaria al-Anshory adalah Zainuddin Abu Yahya Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria bin Dawud bin Humaid bin Usamah bin Abdul Maula al-Anshory as-Subky al-Qohiry al-Azhary as-Syafi’I. Laqob atau julukan beliau Zainuddin dan Syaikhul Islam, sedangkan kunyah beliau adalah Abu Yahya.[1]

 III.            Kelahiran Syaikh Zakariya Al-Anshori
Syaikh Zakaria an-Anshory dilahirkan di desa Sunaikah, sebuah desa di sebelah timur Mesir pada tahun 824 H, menurut Imam Sayuti[2] dan Ibnu Iyyas.[3]
Sedangkan menurut as-Sakhowy[4] dan sebagian ulama seperti al-‘Aidarusy[5], Ibnu Tholun[6], Ibnu Imad[7] dan yang lainnya, Syaikh Zakaria an-Anshory dilahirkan pada tahun 826 H.
Adapun menurut Najmuddin al-Ghuzzy, sebagaimana yang telah Ia nukil dari Ayahnya, Syaikh Zakaria an-Anshory lahir pada tahun 823 H[8]. Dalam hal ini pendapat as-Sayuty dan Ibnu Iyyas lah yang dikuatkan, karena kebanyakan Ulama yang menulis biografi Syaikh Zakariya al-Anshory beliau wafat pada usia seratus tahun, dan juga as-Sayuty sezaman dengan beliau, dan Ibnu Iyyas sendiri ikut menghadiri pemakaman beliau.[9] Tahun 823 H bertepatan dengan tahun 1418 H.[10]
1.   Putra- putra Syaikh Zakariya al-Anshori
Dari sekian banyak Ulama yang menulis biografi Syaikh Zakariya an-Anshory, tidak ada satupun yang menulis kapan dan dengan siapa beliau menikah. Namun mereka menulis sebagian nama para putra beliau. Disalah satu biografi, pertama kali beliau dikaruniai anak pada tahun 871 H. Ini menunnjukkan bahwa beliau menikah sebelum tahun tersebut. Beliu banyak dikaruniai anak-anak yang sholeh. Diantara putra beliau adalah:
1.   Muhyiddin Abu As-Su’ud Yahya bin Zakariya[11], yang kelak menjadi kunyah bagi Syaikh Zakariya. Beliau dulu membantu syaikh dalam membaca dan menulis. Beliau wafat pada tahun 897 H karena wabah penyakit Tho’un.[12]
2.   Jamaluddin Yusuf bin Zakariya.[13] Beliau adalah seorang Saikh yang alim, sholih dan berakhlak mulia. Beliau belajar langsung dari Ayahnya. Beliau wafat pada tahun 987 H.

1.   Muhibbuddin Abu Al-Futuh Muhammad bin Zakariya.[14] Beliau lahir pada tahun 861 H, dididik langsung oleh Ayahnya sampai dapat menghafal al-qur’an, kitab al- ‘umdah, as-syatibiyyah, alfiyah hadits dan alfiyah nahwu dan dua kitab minhaj didalam fan fikih dan usul fikih. Tidak ada yang mencatat tanggal kewafatan beliau.
2.   Ibnu Iyyas meriwayatkan dari Syaikh, bahwasannya beliau mempunyai seorang anak dari budak perempuanya yang hitam.[15]
1.   Sekilas Tentang Kehidupan dan Proses Syaikh Zakariya Al-Anshori dalam Menuntut Ilmu[16] 
Syaikh Zakariya Al-Anshory hidup dan tumbuh di desa Sukainah. Diusianya yang masih dini beliau belajar di maktab Sunaikah untuk menghafal al-qur’an dan beberapa kitab mukhtashor. Diusia tersebut Ayahnya wafat tanpa meninggalkan harta sedikitpun karena faqir. Beliaupun diasuh oleh Ibunya yang sholehah. Kemudian beliau diserahkan kepada seorang Syaikh yang sholeh untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan beliau, baik pakaian, ataupun makanannya. Menerut Al-Ghuzzi, Syaikh tersebut bernama Robi’ bin Syaikh Al-Mushtholim Abdullah As-Sullami As-Syambari.[17] Akhirnya beliaupun dapat mengkhtamkan al-qu’annya, dan kitab ‘umdatul ahkam, serta kitab- kitab mukhtashor lainnya.
Pada tahun 841 H, beliau pergi ke kota Kairo dan belajar di Al-Azhar. Beliau mendapati kesusahan dan kefakiran dimasa-masa tersebut. Dari Syekh Zakariya sendiri, beliau bercerita, selama ada di al-Azhar, aku sering kelaparan karena tidak punya uang untuk membeli makanan. Akhirnya, aku keluar mencari kulit semangka lalu dicuci dan dimakan. Pada suatu hari, ada seorang waliyullah tinggal bersamaku. Dia bekerja sebagai tukang tumbuk dai sebuah perusahaan tepung. Ia membeli semua yang aku butuhkan, pakaian, makanan, kitab dan lainnya.[18] Ia berkata padaku, “Wahai Zakariya, kau jangan khawatir tentang diriku”. Hal ini terus ia lakukan sampai beberapa tahun.
Pada suatu malam, di saat manusia sedang terlelap tidur, dia mengajakku keluar dan menyuruhku menaiki menara masjid jami’ sampai kepuncaknya, akupun menuruti perintahnya. Setelah sampai di puncaknya, aku turun lalu ia berkata, “ Engkau akan hidup sampai teman-temanmu meninggal. Engkau mempunyai derajat tinggi yang dapat mengalahkan mereka dan kau akan menjadi hakim tertinggi dalam waktu yang agak lama. Santri-santrimu akan menjadi pemimpin-pemimpin Islam dan akhirnya kau akan buta”, “Aku akan buta?” tanyaku terkejut. “kau akan buta,” jawab sang wali. “Sejak peristiwa itu, lelaki yang sangat berjasa kepadaku itu pergi entah kemana dan tidak pernah menemuiku lagi.” Beliau dapat menghafalkan kitab mukhtashor At-Tabrizy, Al-Minhaj, Alfiyah Ibnu Malik, As-Syatibiyyah, Ar-Ro’iyah dan sebagian dari kitab Al-Minhaj al-Ashly, Alfiyah Hadits, At-Tashil.
Kemudian beliau kembali ke daerah asalnya dan menetap disana beberapa saat. Setelah itu beliau kembali lagi ke Kairo unuk yang kedua kalinya untuk menuntut ilmu.
Beliau belajar qiro’at dari An-Nur Al-Balbisy, Imam Masjid Al-Azhar, Az-Zain Ar-Ridhwan, As-Syihab Al-Qoloily As-Sakandary, Az- Zain bin ‘Ayasy dan yang lainnya.
Beliau belajar fikih dari Ali Al-Qoyaty, Al-Balqiny, Sarofuddin As-Subky, Sarofuddin Al-Munawy dan yang lainnya.
Beliau mengambil hadits dari Ibnu Hajar Al-‘Asqolany, Az-Zain Ar-Ridhwan, dan Al-Qoyaty.
Beliau belajar Usul Fikih dan Al-Mantiq dibawah bimbingan Al-Qoyaty, Al-Kafijy, Ibnu Al-Hamam dan lainnya.
Beliau belajar Usuluddin dari ‘Izzuddin Abdussalam Al-Baghdady, As-Syarwany, Muhammad bin Muhammad bin Mahmud yang dikenal dengan Al-Bukhory dan yang lainnya.
Beliau belajar ilmu Nahwu, Shorof dan Balaghoh dari ‘Izzuddin, As-Syarwany, Muhammad Al-Kailany, Al-Kafijy, dan Ibnu Hajar Al-‘Asqolany.
Beliau belajar Tashowwuf pada Abu ‘Abdillah Al-Ghomry, As-Syihab Ahmad Al-Adkawy, dan Muhammad Al-Fawwy.
Beliau belajar ilmu Al-Hai’at, Arsitektur, Miqot, Faro’id, Matematika, Al-Jabar, dan yang lain sebagainya dari As-Syihab Ibnu Al-Majdy.
Beliau belajar ilmu kedokteran dari As-Syarof bin Al-Khosab.
Pada tahun 850 H, beliau meninggalkan Mesir menuju ke Hijaz untuk menunaikan Ibadah Haji.[19] Disana beliau bertemu dengan beberapa Ulama dan belajar kepada mereka, khususnya ilmu hadits, dimana beliau mendapatkan ijazah dengan sanad yang ‘aly dan langka. Diantara Ulama yang mengijazahi beliau adalah As-Syarof Abul Fath Al-Maroghy. Beliau juga bertemu dengan Ibnu Fahd dan dua Qodi, Abul Yaman An-Nuwairy dan Abu As-Sa’adat Ibnu Dzohiroh.
Syaikh Zakariya Al-Anshory belajar dari banyak Ulama, tidak sedikit juga ulama yang mengijazahkan kepada beliau. Disebutkan di buku ijazah beliau jumlahnya lebih dari 117 (seratus tujuh belas), menurut Al-Ghuzzy, lebih dari 150 (seratus lima puluh).[20]
Ilmu beliau terus bertambah, sehingga beliau mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi di masanya. Banyak Ulama yang memberi izin kepada beliau untuk mengajar dan berfatwa, diantaranya Ibnu Hajar Al-Asqolany.[21] Beliau sibuk mengajar, memimpin banyak jabatan di beberapa madrasah, dan mengarang kitab. Beliau memimpin jabatan qodhi agung dalam masa yang cukup lama kurang lebih 20 tahun.   Allah memberikan umur panjang kepada beliau. Beliau masih tetap mengajar dan mengarang kitab dengan dibantu para murid-muridnya sampai akhirnya beliau wafat pada tahun 926 H.
1.   Guru- guru Pembimbing Syaikh Zakariya Al-Anshori
Guru Syaikh Zakariya Al-Anshory sangat banyak sekali sehingga tidak memungkinkan untuk menyebutkan semuanya, apalagi mengetahui biografinya dengan detail. Untuk itu disini akan disebutkan diantara guru-guru beliau yang masyhur saja. Dantaranya adalah:
1.   Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolany
2.   Al-Imam Jalaluddin Al-Mahally
3.   Al-Qoyaty[22]
4.   Az-Zain Ar-Ridhwan[23]
5.   Al-Kamal bin Al-Hamam[24]
6.   Alam Al-Balqiny
7.    Syarof Al-Munawy
8.   Al-Kafijy
9.   Zainab As-Syubaky
1.   Murid-murid Syaikh Zakariya Al-Anshori
Syaikh Zakariya al-Anshory mumpuni dalam segala bidang. Tidak sedikit dari para pencari ilmu datang ke beliau untuk menuntut ilmu. Mereka datang dari Hijaz Syam dan lain sebagainya. Selain mempunyai guru yang sangat banyak, beliau juga mempunyai murid yang sangat banyak. Diantara murid beliau adalah:
1.   Syihabuddib Ar-Romly
2.   Syihabuddin Umairoh Al-Barlasy
3.   Nashiruddin At-Thoblawy
4.   As-Sya’rony
5.   Ibnu Hajar Al-Haitamy
6.   Al-Khotib As-Syarbiny
1.   Pangkat dan Jabatan Syaikh Zakariya Al-Anshori
Syaikh Zakariya Al-Anshory hidup pada masa pemerintahan Al-Mamalik. Selain beliau mumpuni dalam berbagai bidang ilmu, beliau juga berumur panjang. Semasa hidupnya, beliau menduduki banyak pangakat dan jabatan. Adapun pangkat atau jabatan yang beliau duduki selama hidupnya adalah:
1.   Menjadi Syaikh atau pemimpin tashowwuf di masjid Al-‘Alam bin Al-Ji’an.[25]
2.   Menjadi syaikh atau pemimpin tashowwuf di masjid At-Thowasyi.
3.   Menjadi guru pembantu (Asisten Dosen) di Al-Azhar pada masa-masa awal belajarnya.
4.   Menjadi staf pengajar di Turbah Ad-Dzahir Abu Sa’id Khosyqodam, seorang sultan pada saat itu.
5.   Menjadi staf pengajar di Madrasah As-Sabiqiyyah, sebuah madrasah yang dikhususkan untuk ulama syafi’iyyah.[26]
6.   Mengajar di Madrasah As-Sholahiyyah, setelah wafatnya Taqiyyuddin Al-Hushny.[27]
7.   Menjadi Pengawas Badan Perwaqofan Al-Qorofah, dan Masjid Imam Syafi’I.
8.   Menjabat sebagai Qodhil Qudhot, Qodhi Agung dari tahun 886 H- 906 H. Sekitar 20 tahun beliau menduduki jabatan tersebut sampai beliau terkena musibah kebuta’an dan kemudian diturunkan.[28] Menurut riwayat lain beliau dilengserkan dari jabatan sebab surat yang beliau kirimkan kepada sultan, menyatakan bahwa Ia dzolim.[29]
1.   Kefawatan Syaikh Zakariya Al-Anshori
Syaikh Zakariya Al-Anshory wafat pada bulan Dzul Hijjah tahun 926 H[30] dalam usianya yang lebih dari 102 tahun.Tahun tersebut bertepatan dengan tahun 1520 M.[31]
1.   Buah Karya Syaikh Zakariya Al-Anshory
1.   Ihkamuddalalah ‘Ala tahriri Syarh Al-Risalah, kitab syarh Al-Risalah Al-Qusyairiyyah. Sudah tercetak.
2.   Al-Adab, atau Ilmu Adab Al-Bahts
3.   Al-Adab fi Ta’rif Al-Arb
4.   Adab Al-Qhodhy (‘Ala Al-Madzhab Al-Syafi’I).
5.   Asna Al-Matholib fi Syarh Raudh Al-Tholib
6.   As’ilatun Haula Ayatin min Al-Qur’an.
7.   Al-Adhwa’ Al-Bahjah fi Ibrozi Daqo’iq Al-Munfarijah.
8.   I’rob Al-Qur’an.
9.   Al-I’lam bi Ahadits Al-Ahkam
10.               Al-I’lam wa Al-Ihtimam li Jam’I Fatawa Syaikh Al-Islam.
11.               Aqsho Al-Amany fi ‘Ilmi Al-badi’ wa Al-Bayan wa Al-Ma’any
12.               Bulugh Al-Arb bi Syarh Syudzur Al-Dzahab li Ibn Hisyam.
13.               Bahjah Al-Hawy, dalam fan ilmu fikih.
14.               Tahrir Tangqih Al-Lubab, dalam fan fikih.
15.               Tuhfah Al-Bary bi Syarh Shohih Al-Bukhory.
16.               Tuhfah Al-Roghibin fi Bayani Amri Al-Thwa’in.
17.               Tuhfah Al-Thullab bi Syarh Tahrir Tangqih Al-Lubab.
18.               Al-Tuhfah Al-‘Aliyyah fi Al-Khutob Al-Mimbariyyah.
19.               Tuhfah Nujaba Al-‘Ashri fi Ahkam Al-Nun As-Sakinah wa Al-Tanwin wa Al-Mad wa Al-Qoshri.
20.               Ta’rifat Al-Qodhy Zakariya Al-Anshory.
21.               Talkhis Al-Azhiyah fi Ahkam Al-‘Ad’iyah.
22.               Talkhis Taqrib Al-Nasyr, dalam fan ilmu qiro’at.
23.               Tsabat Syuyukh Al-Anshory.
24.               Hasyiah ‘Ala Al-Talwih li Al-Sa’d Al-Taftazany.
25.               Hasyiah ‘Ala Al-Hawasyi Al-Mufhimah fi Syarh Al-Muqoddimah. Yang dimaksud adalah Al-Muqoddimah Al-Jazariyyah.
26.               Hasyiah ‘Ala Jam’I Al-Jawami’, dalam fan usul fikih.
27.                Khulashoh Al-Fawa’id Al-Muhammadiyah fi Syarh Al-Bahjah Al-Wirdiyah.
28.               Al-Duror Al-Saniyyah fi Syarh Al-Alfiyah. Yang dimaksud adalah Alfiyah Ibnu Malik, dalam fan ilmu nahwu.
29.               Al-Daqo’iq Al-Muhkamah fi Syarh Al-Muqoddimah.
30.               Diwanu syi’rihi, kumpulan syi’ir- syi’ir beliau.
31.               Risalah fi Isthilahat Al-Shufiyah.
32.               Al-Zubdah Al-Ro’iqoh fi Syarh Al-Burdah Al-Fa’iqoh.
33.               Syarh Al-Arba’in Al-Nawawiyyah.
34.               Syarh Isaghujy, dalam fan ilmu mantiq.
35.               Syarh Al-Syamsiyah, dalam fan mantiq juga.
36.               Syarh Shohih Muslim.
37.               Syarh Dhobithoh Al-Asykal Al-Arba’ah.
38.               Syarh Mukhtashor Al-‘Ain fi Al-Fath wa Al-Imalah baina Al-Lafdzoin.
39.               Syarh Mukhtashor Al-Muzany.
40.               Syarh Minhaj li Al-Baidhowy.
41.               Imad Al-Ridho bi Bayani Adab Al-Qodho.
42.               Ghoyah Al-Wushul ila Lubbi Al-Ushul.
43.               Al-Ghuror Al-Bahiyyah fi Syarh Al-Bahjah Al-Wirdiyah.
44.               Fath Al-Ilah Al-Majid bi Idhohi Syarh Al-‘Aqo’id.
45.               Fath Al-Baqy bi Syarh Alfiyah Al-‘Iroqy.
46.               Fath Al-Jalil bi Bayani Khofyi Anwar Al-Tanzil.
47.               Fathu Rob Al-Bariyyah bi Syarh Al-Qoshidah Al-Khozrojiyyah, dalam fan ilmu ‘Arudh.
48.               Fath Al-Rohman bi Syarh Luqothoh Al-‘Ajlaan.
49.               Fath Al-Rohman bi Syarh Risalah Al-Waliy Arsalan.
50.               Fath Al-Rohman bi Kasyfi ma Yaltabisu fi Al-Qur’an, dalam fan tafsir.
51.               Fath Al-‘Alam bi Syarh Ahadits Al-Ahkam.
52.               Fath Al-Mubdi’ fi Syarh Al-Muqni’.
53.               Fath Munazzil Al-Matsany bi Syarh Aqsho Al-Amany fi Al-Bayani wa Al-Badi’ wa Al-Ma’any.
54.               Fath Al-Wahhab bi Syarh Al-Adab.
55.               Fath Al-Wahhab bi Syarh Manhaj Al-Thullab.
56.               Fath Al-Wahhab bi Ma Yajibu Ta’allumuhu ‘Ala Dzawi Al-Albab, dalam fan ilmu kalam.
57.               Al-Fathah Al-Insiyyah li Gholqi Al-Tuhfah Al-Qudsiyyah.
58.               Al-Futuhat Al-Ilahiyyah fi Nafhi Arwah Al-Dzawat Al-Insaniyyah, dalam fan ilmu Tashowwuf.
59.               Lubul Ushul.
60.               Lawaqih Al-Afkar fi Syarh Thowali’ Al-Anwar, fan ilmu kalam.
61.               Al-Lu’lu’ Al-Nadzim fi Roum Al-Ta’allum wa At-Ta’lim.
62.               Mukhtashor Adab Al-Qodho li Al-Ghuzzy.
63.               Mukhtashor Badzl Al-Ma’un.
64.               Muqoddimah fi Al-Kalam ‘Ala Al-Basmalah wa Al-Hamdalah.
65.               Al-Maqshod li Talkhisi Ma fi Al-Mursyid, dalam fan ilmu qiro’at.
66.               Al-Manahij Al-Kafiyah fi Syarh As-Syafiyah, fan Tashowwuf.
67.               Manhaj At-Thullab.
68.               Manhaj Al-Wushul ila Takhrij Al-Fushul, fan ilmu mawarits.
69.               Manhaj Al-Wushul ila Ilmi Al-Fushul, fan ilmu mawarits.
70.               Nihayah Al-Hidayah fi Syarh Al-Kifayah, dalam fan ilmu warits.
71.               Nahj At-Tholib li Asyrof Al-Matholib.
72.               Hidayah Al-Mutanassik wa Kifayah Al-Mutamassik.
1.   Epilog
Menegetahui biografi dan perjuangan para ualama’ terdahulu merupakan hal yang sangat penting.
Daftar Pustaka
1.   As-Sakhowy, Ad-Dhou Al-Lami’ li Ahli Al-Qorn At-Tasi’, Dar Maktabah Al-Hayat, Beirut.
2.   As-Sayuthy, Nadzmu Al-‘Aqoyan fi A’yani Al-A’yan, Darul kutub Al-Ilmiyyah, Beirut.
3.   Jalaluddin As-Sayuthi, Husnu Al-Muhadhoroh fi Akhbari Misro wa Al-Qohiroh, Darul kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, Cetakan: 1, Tahun 1997 M.
4.   Muhammad bin Iyyas Al-Hanafi, Bada’iu Az-Zuhur fi Waqo’i Ad-Duhur, Tahqiq Muhammad Mustofa, Al-Hai’ah Al-‘Ammah li Al-Kitab, Mesir, Tahun 1984 M.
5.   As-Sya’rony, At-Thobaqot Al-Kubro, Darul kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, Cetakan: 1, Tahun 1990 M.
6.   Ibn Tholun Al-Hanafi, Mit’atu Al-Adzhan min At-Tamattu’ bi Al-Aqron, Daru Shodir, Beirut, Cetakan: 1, Tahun 1999 M.
7.   Muhyiddin Al-‘Aidarusy, Tarikh An-Nur As-Safir ‘An Akhbar Al-Qorn As-‘Asyir, Darul kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, Cetakan: 1, 1985 M.
8.   Najmuddin Al-Ghuzzy, Al-Kawakib As-Sai’roh fi ‘Ayan Al-Mi’ah Al-‘Asyiroh, Dar Al-Afaq Al-Jadidah, Beirut, Cetakan: 2, Tahun 1979 M.
9.   Ibn Al-‘Imad Al-Hambaly, Sadzarot Ad-Dzahab fi Akhbari Man Dzahab, Damaskus, Beirut, Cetakan: 1, Tahun 1993 M.
10.               As-Syaukany, Al-Badru At-Tholi’ bi Mahasini Man Ba’da Al-Qorni As-Sabi’, Dar Al-Ma’rifah, Beirut.
11.               Khoiruddin Az-Zarkily, Al-‘Alam, Dar Al-Ilmi, Beirut, Cetakan : 14, Tahun 1992 M.
 *Thohirin Shodiq eL Syirbony : Mahasiswa Fakultas Syari'ah wal Qonun ( Tingkat III ) Universitas Al Ahgaff, Tarim, Hadhramaut, Republik Yaman.


[1] As-Sakhowi, Ad-Dhou Al-Lami’, 3/234, dan As-Sayuthy, Nadzmu Al-‘Aqoyan, h. 113, Ibn Iyyas, Bada’iu Az-Zuhur, 5/370, dan Najmuddin Al-Ghuzzy, Al-Kawakib As-Sai’roh 1/196.

[2] As-Sayuthy, Nadzmu Al-‘Aqoyan, h. 113.

[3] Ibn Iyyas, Bada’iu Az-Zuhur, 5/370.

[4] As-Sakhowi, Ad-Dhou Al-Lami’, 3/234.

[5] Al-‘Aidarusy, Tarikh An-Nur As-Safir, h. 112.

[6] Ibn Tholun, Mit’atu Al-Adzhan min At-Tamattu’ bi Al-Aqron, 1/362.

[7] Ibn Al-‘Imad Al-Hambaly, Sadzarot Ad-Dzahab, 10/186.

[8] Najmuddin Al-Ghuzzy, Al-Kawakib As-Sai’roh 1/196.

[9] Ibn Iyyas, Bada’iu Az-Zuhur, 5/371

[10] Az-Zarkily, Al-‘Alam, 3/46

[11] As-Sakhowi, Ad-Dhou Al-Lami’, 10/225.

[12] Ibn Iyyas, Bada’iu Az-Zuhur, 3/287.

[13] Najmuddin Al-Ghuzzy, Al-Kawakib As-Sai’roh 3/221.

[14] As-Sakhowi, Ad-Dhou Al-Lami’, 7/235.

[15] Ibn Iyyas, Bada’iu Az-Zuhur, 5/371.

[16] As-Sakhowi, Ad-Dhou Al-Lami’, 3/234, dan Najmuddin Al-Ghuzzy, Al-Kawakib As-Sai’roh 1/196, dan Al-‘Aidarusy, Tarikh An-Nur As-Safir, h. 112, dan As-Sya’rony, At-Thobaqot Al-Kubro, 2/111.

[17] Najmuddin Al-Ghuzzy, Al-Kawakib As-Sai’roh 1/196.

[18] As-Sya’rony, At-Thobaqot Al-Kubro, 2/111.  Najmuddin Al-Ghuzzy, Al-Kawakib As-Sai’roh 1/196.

[19] As-Sakhowi, Ad-Dhou Al-Lami’, 3/235.

[20] Najmuddin Al-Ghuzzy, Al-Kawakib As-Sai’roh 1/198.

[21] As-Sakhowi, Ad-Dhou Al-Lami’, 3/236.

[22] As-Sayuthi, Husnu Al-Muhadhoroh, 1/396, dan As-Sakhowi, Ad-Dhou Al-Lami’, 8/212.

[23] As-Sakhowi, Ad-Dhou Al-Lami’, 3/236, Ibn Al-‘Imad Al-Hambaly, Sadzarot Ad-Dzahab, 9/401.

[24] As-Sayuthi, Husnu Al-Muhadhoroh, 1/392, dan As-Sakhowi, Ad-Dhou Al-Lami’, 8/127.

[25] As-Sakhowi, Ad-Dhou Al-Lami’, 3/237.

[26] Ibid.

[27] As-Sayuthi, Husnu Al-Muhadhoroh, 2/226.

[28] Al-‘Aidarusy, Tarikh An-Nur As-Safir, h. 115.

[29] Najmuddin Al-Ghuzzy, Al-Kawakib As-Sai’roh 1/199.

[30] As-Sya’rony, At-Thobaqot Al-Kubro, 2/113, dan Ibn Iyyas, Bada’iu Az-Zuhur, 5/370, dan Najmuddin Al-Ghuzzy, Al-Kawakib As-Sai’roh 1/206,

[31] Az-Zarkily, Al-‘Alam, 3/46.