Pages

Tuesday, March 17, 2015

Al Hikmah Yaman Sowani Gus 'Izzudin

Tarim – Anggota Al Hikmah Yaman bersama-sama sowani Gus Izzudin Masruri, salah satu Pengasuh Pon. Pes. Al Hikmah – Bumiayu pada senin malam (09/15). Gus Izzudin yang merupakan putra KH. Moch Masruri Abdul Mughni tiba di Tarim dalam rangka umroh sekaligus ziyarah Hadhramaut pada tanggal 01 Februari 2015.
Kesempatan beliau yang tinggal kurang lebih selama 12 hari di flat Maula Dawileh Tarim dimanfaatkan anggota Al Hikmah Yaman untuk bertemu kangen bersama.
Dengan diikuti sekitar 12 orang, Rifqi Ridho selaku ketua Al Hikmah Yaman memandu pembicaraan interaktif antara Gus Izzudin dan kawan-kawan Al Hikmah. 

      “ kami senang sekali, baru kali ini ada Kyai atau Gus Al Hikmah yang mau menyempatkan ziyarah ke Yaman, setidaknya Gus Izzudin menengok kami disini bisa mengawali gus-gus atau ning-ning yang lain main kesini” tutur Ridho kepada Gus Izzudin dengan ditemani istrinya.
Canda tawa pun lepas menyertai obrolan hangat di malam hari yang penuh berkesan itu. Gus Izzudin tidak kalah senang dengan bercerita bagaimana ia menziyarahi makam-makam waliyullah dan pengarang-pengarang kitab yang dulu hanya dikenal namanya saja seperti Makam Al Habib Abdullah Alawy Al Haddad pengarang kitab An Nashoih ad Diniyah, Adab Sulukil Murid, Al Habbib Abdullah bin Husain bin Thohir pengarang kitab Sullamut Taufiq dan lainnya.


     Beliau sangat bahagia bisa ziyarah ke Hadhramaut dan bisa bertemu dengan santri-santri alumni Al Hikmah di kota Tarim. Meski hal itu terbilang hanya sebentar, tapi kesan dalam hatinya sangat sulit untuk dilupakan. “Saya sebenarnya betah di Tarim, satu-satunya pusat kota ilmu dan ulama yang masih memegang teguh kesalafan dan tradisi terdahulu sampai kini, kalau saya diberi rizki saya ingin sekali nanti kembali kesini lagi” ungkapnya.
Sowan kali itu berkesan baik bagi pelajar Al Hikmah di Yaman ataupun Gus Izzudin sendiri beserta Istri. Semoga pertemuan itu selalu membawa keberkahan dan merupakan awal untuk kembali berdatangannya Kyai-Kyai dan Gus-Gus Al Hikmah ke Yaman. Amiiin

Friday, July 11, 2014

Metodologi Induksi: Antara Rekontruksi Hukum Syari'ah dan Legalitas Penalaran

Oleh: Lutfi Ahsanudin*
 
A.    Abstrak
Fenomena sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat tidak akan lepas dengan kemampuan cara kerja akal manusia untuk bisa melahirkan sebuah gagasan yang dapat diterima oleh manusia itu. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan dalam pola pikir manusia baik yang bersifat trasendental metafisik ataupun eksakta, dalam tatanan keagamaan ataupun kehidupan mereka sehari-hari.
Sering kali seseorang itu tidak tahu bahwa cara kerja akalnya dan pola penalarannya pada suatu proposisi yang dia hadapi merupakan pola pikir yang sangat efektif dan implementatif. Sebab, manusia diciptakan pada dasarnya untuk berfikir dan berusaha mendayagunakan akal mereka dengan sebaik mungkin dalam kehidupan mereka selaku hamba Allah yang menjalankan tugasnya di muka bumi ini. Dan orang itu akan menyadari akan keefektifan pola pikirnya setelah diutarakan orang lain secara lebih presentatif dengan substansi yang sama.
Dalam tatanan keagamaan pun akal manusia selalu diasah dan tidak dimarginalkan begitu saja, akan tetapi sangat diperlukan untuk menggali hukum-hukum Islam yang tidak tertuang dalam nash-nash ilahiy. Ini membuktikan bahwa akal manusia merupakan hal yang urgen dalam menghukumi dan mengindentifikasi problem yang mereka hadapi.
Salah satu cara kerja akal manusia dalam memecahkan problem mereka adalah dengan menggunakan metode induktif atau yang lebih dikenal dengan istilah Istiqro'. Pola pikir seperti ini sering digunakan oleh manusia, akan tetapi mereka tidak tahu dengan istilah yang sudah ada, dan pola pikir ini sangat erat kaitannya dengan Ilmu Filsafat dan penalaran (logika) yang digagas oleh Filosofi Yunani kuno.
Tidak bisa dipungkuri lagi bahwa Filsafat Yunani memainkan perannnya dengan lihai dalam menyusun dan membentuk konsep-konsep cara berfikir secara logika yang benar dengan memeperhatikan intuisi akal manusia yang berakibat banyak dari sarjana muslim (baca:ulama) mencoba untuk mempelajari ilmu tersebut sehingga tidak sedikit dari mereka pola pikirannya sejalan dengan metode Filsafat Barat dalam cara pandang logika atau penalaran untuk memecahkan suatu problem yang mereka hadapi.
Tak heran jika cara pandang seperti ini pun dikenalkan oleh ulama Islam dalam  dalam melegitimasi hukum-hukum syari'at Islam yang tidak tertdapat nash-nash baik dalam al Kitab dan as Sunah. Lantas, sejauh mana para ulama Islam mnejadikan pola pikir ini sebagai argumentasi untuk menelurkan Islamic Jurisprudence dan rekontruksi hukum Islam? Dan bagaimana relevansi metodelogi induktif dalam modern issues dan proposi-proposi kontemporer?. Dari makalah sederhana ini, penulis mencoba untuk menjawab pertanyaan diatas

B.     Definisi dan Klasifikasi Induksi (Istiqro')
Secara etimologi Istiqro didefinisikan dengan arti tatabbu' (pengikutsertaan secara terus menerus)[1]. Kata ini merupakan derivasi dari kata qara'a yang diartikan mengumpulkan. Sedangkan dari segi terminologi, banyak sekali definisinya dan sangat variatif baik dari sudut pandang pakar Filsafat hukum Islam (ushuliyyun) dan pakar Filsafat ogika (mantiq) yang semuanya bermuara pada identifikasi bentuk-bentuk parsial empiris untuk membentuk suatu konklusi general universal yang diambil dari bentuk parsial tersebut[2]. Meskipun keberagaman defenisi, akan tetapi memiliki makna yang hampir sama, karena konseptualnya mengandung substansi yang sama. Dengan kata lain, metedologi induktif merupakan sebuah generalisasi horizontal yang memuat klonkusi dari parsial empiris partikular yang ada.
Sedangkan klasifikasi induksi ada dua macam; induksi sempurna (taam) dan inuduksi tidak sempurna (naqish). Induksi sempurna adalah adalah penelitian secara cermat ke semua keadaan partikular selain objek permasalahan untuk mencapai sebuah konklusi hukum general universal. Semua ulama ushul mengakui keabsahan istiqra’ tâm sebagai dalil yang dipakai untuk menghasilkan sebuah produk hukum. Akan tetapi, derajat keabsahannya sebagai dalil masih dipermasalahkan. Mayoritas ulama ushul menilai bahwa istqra’ tâm adalah dalil yang dogmatis, kokoh serta dapat diyakini kebenarannya.
Yang kedua adalah induksi tidak sempurna (naqish) Istiqra’ jenis ini adalah penelitian secara terperinci sebagian besar hal-hal partikular agar tercapai konklusi hukum general universal untuk menetapkan hukum objek permasalahan[3]. Ini berarti tidak semua permasalahan yang berada dalam cakupan hukum universal itu harus diteliti. Dengan kata lain, cukup mempelajari sebagian besar yang mewakilinya saja
Salah satu contoh yang sering kali terdapat dalam literaur ushul tentang metodek induktif adalah shalat witir. Apakah hukum shalawat witir itu wajib atau sunnah?. Menurut Syafi'iyah, Malikiyah dan Hanabilah sunnah, karena shalat witir tidak ditunaikan diatas kendaraan. Statement ini diperoleh lewat metode induktif setelah mencermati bentuk-bentuk parsialnya yang meliputi shalat fardlu, nadzar, qadlo dan segala ibadah fardlu lainnya tidak ditunaikan diatas kendaraan, maka hal ini melahirkan konklusi general bahwa setiap fardlu, tidak ditunaikan diatas kendaraan[4].
Terlepas dari perbedaan cara pandang ulama ushul fiqh tetang keabsahan induktif sempurna dan tidak sempurna, penulis cenderung lebih menekankan implementasi indukusi dalam probelmatika kotemporer agar prinsip dinamitas dan fleksibelitas syari'at Islam yang relevan di setiap saat bisa selalu dilestarikan. Karena itu, penting untuk saat ini membumikan metodelogi induktif baik ke dalam masalah-masalah fiqih kontemporer ataupun gejala-gejala fenomena lainnya yang berkembang di masyarakat.

C.    Urgenitas dan Implementasi Metodelogi Induktif
Berbicara tentang metodologi induktif tidak akan lepas dari logika. Aristoteles yang dianggap sebagai bapak logika meklasifikasi dasar kerja intelektual agar membentuk suatu logika menjadi tiga bagian; memahami objek, membentuk dan memilahnya, dan menalar dari sesuatu yang tidak diketahui menjadi yang diketahui. Dari ketiga unsur tersebut munculah Logika yang bertujuan untuk menguji  secara inferensif sebagai parameter suatu ilmu[5].
Logika induktif sendiri merupakan suatu gabungan dari cara kerja akal dan indera yang terkadang didukung oleh suatu eksperimen untuk memutuskan suatu teori yang kurang pasti. Disamping itu ekperimen ini seolah-olah merupakan sebuah pertanyaan untuk mengetahui kapasitas teori tersebut[6]. Dengan begitu, menggunakan akal pikiran secara induktif banyak sekali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dan pola pikir semacam inilah jalan untuk memajukan potensi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak sedikit dari ilmuwan-ilmuwan baik Barat dan Timur menggunakan metodelogi ini sebagai perantara untuk menemukan teori mereka.
Pada akhirnya, berkembangnya logika induktif  telah membangun suatu in deepth study atau studi mendalam terhadap seluruh fenomena sosial dan keilmuan, bahkan terhadap teks. Logika induktif membimbing seseorang pada suatu pengalaman partisipatif, di mana seseorang harus menjadi inner dari suatu kejadian atau peristiwa keilmuan dan sosial, dan bukan the outer yang berdiri di luar realitas sambil menarik kesimpulan tentang realitas itu.
Untuk membentuk suatu teori yang bertolak dari metode induktif tidak semata hanya memperhatikan bentuk-bentua parsialnya saja, akan tetapi diperlukan tiga fase dalam merealisasikannya. Tiga fase tersebut adalah      
  • Fase pertama; riset dan penelitian parsial empiris
  • Fase kedua; pembentukan hipotesis berdasarkan bentuk parsial yang ada
  • Fase ketiga; pendeteksian hipotesis yang tepat untuk dijadikan suatu konklusi teori[7].
Lebih lanjut, Hasan Habanakah menjelaskan panjang lebar tentang urgenitas induksi dan cara aplikasinya dalam sain teknologi yang sudah berkembang sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Dari sinilah bisa diketahui bahwa sangatlah urgen berfikir menggunakan metodologi induktif secara komprehensif terutama dalam memajukan sain dan teknologi. Tidak cuma teks-teks agama, metode induktif lebih implementatif dan aplikatif untuk suatu metode penelitian dalam problem kontemporer saat ini baik segi agama maupun sosial kemasyakatan[8].
Contoh yang lebih nyata yang sudah ada sampai saat ini dalam bidang sains adalah hukum Archimedes sebagai mana Hasan Habanakah sebutkan dalam fase pembentukan suatu hipotetsis yang akhirnya menjadi suatu teori yang kompetebel dan punya responsibilitas yang kuat[9].
Dengan demikian metodelogi induktif bisa didemonstrasikan dan diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, tidak cuma pada kajian-kajian agama saja dalam merekontruksi hukum Islam, akan tetapi merambah ke dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan jalar penalaran dan eksperimen yang punya responsibiltas tinggi.

D.    Kesimpulan
Pola pikir secara induktif sebenarya kita temukan setiap saat dalam fenomena kehidupan, baik dari segi keagaaman dalam membentuk suatu hukum syari'at ataupun sosial kemasyarakatan. Tak heran jika ulama ushul pun menggunakannya dalam menentukan suatu hukum fiqih. Akan tetapi apa sebatas itu saja implementasi induksi? Kenyataan berkata lain, induksi sudah dikenal bahkan dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan terdahulu sebab pola pikir ini berkembang terus menerus sejalan dengan perkembangan manusia dalam mengamati peristiwa di sekitar mereka. Dari sinilah saatnya menggemakan metode ini secara persuasif kepada masyarakat lainnya.  

* Penulis adalah mahasiswa tingkat 4 fakultas syariah wal qonun universitas al- Ahgaff, Tarim.  



[1]. Dalam literatur ushul fiqh dan bahasa, hampir seluruh ulama menggunakan kata 'tatabbu' asy syai' daalm mendefinisikan Istiqro' secara etimologi. Akan tetapi penulis cenderung memilih kata tatabu' dengan arti mengidentifikasi atau mengeksplorasi, yang diambil dari perkataan sebagian ulama seperti Imam Ghazali yang menggunakan kata 'tashaffuh' dalam kitab al Mustashfa.

[2]. Mayoritas ulama mendefinisikan Istiqro' sebagaimana diatas, tapi terdapat definisi lain yang agak sedikit menarik dari Syeikh Abdurrahman Hasan Habanakah. Ia mendefinisikan dengan corak pemikiran yang bertolak dari bentuk parsial ke bentuk general secara intervensif. Dhowabith Al Ma'rifah, hlm 188.

[3]. Pembagian ini banyak sekali ditemukan dalam literatur ushul fiqh di semua madzhab.

[4]. Al Mustashfa, Imam Ghazali juz 1, hlm 161.

[5]. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme dan PostModernisme, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1999,    hlm. 23.

[6]. Dhowabith Al Ma'rifah, hlm 187.

[7]. Ibid hlm 200.

[8]. Kebalikan dari metode induktif adalah metode deduktif (istinbath) yang merupakan pengambilan klonkusi dari bentuk-bentuk yang general universal.

[9]. Lebih jelasnya tentang kisah ini, baca Dhowabith al Maslahah hal 206-207.

Monday, June 30, 2014

Madrasah Hadramaut; Objek Studi Berasaskan Karakter Edukasi Nabawi


Oleh : Abdul Rahman Malik*
            Belajar pendidikan agama islam sejatinya bisa dilakukan dimana saja, baik itu di dalam negeri Indonesia ataupun di luar negeri. Pasalnya, Islam berikut ajaran dan keilmuannya telah tersebar luas ke berbagai penjuru dunia, tak terkecuali negara Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah penganut agama Islam dengan pencapaian prosentase 87,18 % dari 237.641.326 jumlah penduduknya (sensus tahun 2010- Wikipedia-).
Kendati demikian, studi kajian Islam di dalam negeri tentu berbeda dengan pembelajaran keislaman di Timur Tengah atau lebih dikenal dengan negeri-negeri Arab. Ibarat meminum air, pastilah lebih segar meneguk air dari sumber mata airnya langsung dibanding meminum air yang sudah berpencar ke setiap penjuru. Kemurniaan kajiannyapun jelas terasa berbeda.
Madrasah Hadhramaut merupakan salah satu diantara objek studi Timur Tengah.  Sejak bertahun-tahun lamanya, kiprah Madhrasah Hadhramaut terkenal akan khazanah keilmuan yang dalam, luas dan kental. Keberkahan ilmu di madrasah Hadhramaut telah mampu menciptakan kader-kader ulama yang tersebar ke seantareo dunia. Disamping berkat keikhlasan para pendidiknya, hal itu disebabkan karena berkesinambungannya ilmu dari generasi ke generasi sejak era penyebaran Islam pertama di zaman kekhalifahan hingga kini dengan rantaian sanad (silsilah-red.) keilmuan dan ajarannya yang masih tergolong salaf dan bermanhaj nabawi. Manhaj inilah yang diterapkan oleh para pegiat ilmu di Hadhramaut dengan senantiasa mengamalkan sunah-sunah nabi yang kini kian terlupakan di kalangan banyak umat Islam terutama di Negara Indonesia kita tercinta.
Di era modernisasi ini, Peran Madhrasah Hadhramaut mulai mampu menarik perhatian kalangan penuntut ilmu di tanah air. Buktinya, lebih dari 2000 pelajar Indonesia kini banyak berdomisili di lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar di Hadhramaut. Mereka datang untuk terjun langsung menyelami samudera ilmu yang ada di Hadhramaut. Tentu ini bukanlah sebuah tingginya animo belaka, namun karena –konon- sudah panggilan keberangkatan dari pencetus cikal bakal Madhrasah Hadhramaut ini, yaitu Imam Al Muhajir Ilallah Ahmad Bin Isa.
Sebagai pemegang tongkat estapet ajaran kakek moyangnya, Imam Al Muhajir berhijrah ke Hadhramaut untuk mempertahankan eksistensi keturunan Rasulullah saw dan juga untuk menyebarkan ajaran yang turun temurun diterapkan dalam kehidupan berupa syari’at Agama Islam. Walhasil, Hadhramaut kini menjadi pusat kajian islam bermanhaj Nabawi terbesar dan tervalid dengan dipegang tonggak pendidikannya oleh mayoritas Ahlul Bait (baca; keturunan rasulullah). 
Madhrasah Hadhramaut dengan system edukasi berpola penerapan sunnah nubuwwah mampu mendidik kader-kader muda dengan berkarakter nabawy artinya dengan pendidikan tarbiyah langsung oleh guru, para penuntut ilmu senantiasa belajar dengan tuntunan dan penerapan yang diajarkan Rasullah saw. Hal inilah yang menjadikan Hadhramaut memiliki kharisma tersendiri dari lembaga pendidikan lainnya. Manhaj seperti inilah yang seharusnya direvitalisasi kembali dalam dunia pendidikan di Indonesia yang kebanyakan berorientasi pada ranah formal saja, sehingga identitas pendidikan agamapun semakin pudar.
Menurut Al Habib Abu Bakar Al Adny, Madhrasah Hadhramaut memiliki asas dan prinsip pendidikan berupa “ILMU – AMAL – IKHLAS –  “, dengan rangkaian ketiga unsur tersebut, karakter seseorang akan terbentuk dengan baik seandainya mampu diterapkan secara seksama dalam dunia pendidikan. Pasalnya ilmu tanpa amal berdampak pada disfungsi ilmu itu sendiri. Sedangkan amal tanpa ilmu berakibat tertolaknya suatu pekerjaan, dan kesemuanya itu akan memperoleh hasil baik dengan dilandasi keikhlasan.  
Diantara sekian lembaga pendidikan Madrasah Hadhramaut adalah Ribath Darul Musthofa asuhan Al Habib Umar bin Hafidz. Beliau menuturkan, "Ribath Darul Mushtofa ini didirikan atas dasar tiga visi utama; yaitu pertama, mempelajari ilmu syari'ah dengan sanadnya dari generasi ke generasi ulama sampai menuju sumbernya ialah Rasulullah saw, kedua; tazkiyah an nafs (pembersihan hati) dari segala kotoran rohani dan mengamalkan ilmu dengan sebenar-benarnya atas dasar ikhlas karena Allah Ta'ala, ketiga; menyebarkan panji Islam dengan berdakwah di jalan Allah dengan hikmah dan mau'idzoh hasanah  seperti yang diajarkan Rasulullah Saw".
Selain Darul Musthofa, ada beberapa lembaga pendidikan lainnya yang kokoh mempertahankan Manhaj Madrasah Hadhramaut meski dengan system dan kurikulum pendidikan yang berbeda. Diantaranya adalah Universitas Al Ahgaff – Tarim dengan kajian kurikulum perkuliahan berbasis ilmu syari'ah dan hokum yang dipimpin oleh Rektor Prof. DR. Al Habib Abdullah bin Muhammad Baharun, MA, kemudian Ribath Tarim dengan manhaj salaf yang diasuh oleh Al Habib Salim bin Abdullah bin Umar as Syathiry. Dan masih banyak lagi lembaga-lembaga pendidikan yang berlokasi di Hadhramaut selain yang disebutkan baik berstrata pendidikan formal maupun non-formal. Semua itu adalah manifestasi pendidikan di Hadhramaut yang mampu menjadikannya sebagai salah satu pusat kajian Islam terpercaya di negeri Balqis ini. 
Hal ini juga terbukti dirasakan oleh Dr. Jamal Faruq Al Husainy, seorang Dosen Aqidah dan Filsafat Universitas Al Azhar-Kairo pada saat kunjungannya ke kota Tarim tahun 2013 dalam rangka ikut serta Konferensi Da'i Internasional ke-13 di Darul Musthofa. Setelah Dr. Jamal melakukan survei satu persatu lembaga yang berada di kota Tarim, Ia sangat mengapresiasi sampai menuliskan sebuah artikel di majalah at Tawashul Edisi 14 dengan judul, "Tarim laksana Al Azhar tempo dulu". Hingga kini, Tarim tetap menjadi kiblat ilmu bagi setiap kalangan. Khazanah keilmuannya seakan tak habis termakan masa. Halaqoh-halaqoh ilmu berpencaran dimana-mana baik itu di ribath ataupun di masjid-masjid kota Tarim. Setiap waktu, para ulama dengan ikhlas mengisi kegiatan kajian ilmu-ilmu warisan turun temurun Rasulullah SAW.
Tampaknya di tengah hiruk pikuk pendidikan moral bangsa Indonesia saat ini, Manhaj Madrasah Hadhramaut bisa menjadi salah satu kunci untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Moral yang kian merosot setidaknya bisa ditopang dengan penerapan tarbiyah yang biasa diajarkan di Madhrasah Hadhramaut. Dengan cara apa? Bagaimanakah awal mulanya? Hal itu cukup dengan menjadikan Madhrasah Hadhramaut sebagai objek studi bagi anak didik Indonesia di masa kini dan mendatang. Sehingga mereka bisa merasakan bagaimana pendidikan berasaskan karakter edukasi nabawi yang sepatutnya diadopsi oleh para pendidik di Indonesia. Wallahu a'lam.

Thursday, June 26, 2014

Al Hikmah Yaman Menang 3-0 Atas PP. Ar Risalah

Tarim (26/06), Forum Al Hikmah Yaman berhasil mengalahkan tim sepak bola PP. Ar Risalah (Kediri) dengan skor 3-0 dalam laga persahabatan yang dihelat di stadion rumput hijau Aidid. Tepat pukul 21.00 KSA, pertandingan dimulai dengan diawali bola tengah dari kubu Al Hikmah Yaman.
Kedua belah tim sama-sama ingin unggul pada awalnya. Banyak serangan diciptakan kawan-kawan Al Hikmah Yaman yang dipimpin oleh Maman Abdurrahman sebagai kapten sekaligus pemain gelandang bertahan. Stiker Al Hikmah Yaman, Fuad Mas'ud dan Jadid berkali-kali melakukan peluang namun belum berbuah gol. Sundulan Fuad dari umpan lambung Muwaffaq pada menit 13' hampir saja membuat penjaga gawang PP. Ar Risalah keteteran, sayangnya sundulan itu meleset di kepala Fuad.   
Di kubu PP. Ar Risalah, Kaji Tohir dengan dibantu Asep Seful selalu membangun serangan yang menusuk ke arah tengah pertahanan Al Hikmah. Beberapa kali shooting Kaji Toing masih membentang ke luar gawang Al Hikmah yang dijaga Lutfi Ahsanudin. Sementara Al Hikmah Yaman juga masih  terus menyerang. Sampai di menit 17', Maman membagi bola bersama Jadid dengan umpan one two. Kemudian Maman langsung menembakkan bola keras yang tidak bisa ditepis oleh kipper PP. Ar Risalah hingga berbuah gol, 1-0 untuk Al Hikmah Yaman.
Kekalahan 1-0 bagi PP. Ar Risalah membuat mereka ingin menyusul ketertinggalan. Pada menit 20', Noval masuk menggantikan Hilmi dari kubu PP. Ar Risalah. Asep dengan ditemani Fahmi ingin mencetak gol dengan tembakan-tembakan ke arah gawang, namun bola masih bisa ditangkap Lutfi Ahsanudin.
Pada menit 23', kembali kawan-kawan Al Hikmah Yaman menyerang dari arah kiri oleh Khair Amrullah, kemudian diover menuju Jadid. Dengan melewati satu defender PP. Ar Risalah, lalu Jadid menendang kencang bola ke arah kipper hingga menciptakan gol untuk yang kedua kalinya bagi Al Hikmah Yaman. Skorpun bertambah menjadi 2-0 sampai half time di menit 25'.
Di Babak kedua, PP. Ar Risalah seakan tidak ingin menelan kekalahan begitu saja. beberapa pemain mulai memasuki arena, seperti Zainal Fanani dan Rifa'i. Serangan PP. Ar Risalah pun semakin bangkit kembali. Namun Al Hikmah Yaman dengan menerapkan tiga posisi belakang yang diisi oleh Roby, Bary dan Rifqi Ridho, mampu membentengi gawang. Secara otomatis, Kaji Tohir dan kawan-kawan sulit menembus barisan pertahanan Al Hikmah Yaman.
Menjelang pertandingan berakhir, Maman Abdurrahman kembali menambahkan gol. Dengan menggiring-giring bola dari belakang, kemudaian Maman melakukan shoot dari luar kotak penalty yang mengarah ke pojok gawang. Hingga Kiper PP. Ar Risalah, Alim, sulit menepis bola pojok Maman, dan skorpun bertambah lagi menjadi 3-0. "Dengan kemenangan 3-0 tanpa balas itu membuktikan Al Hikmah Yaman sebagai tim sepak bola Pondok Pesantren yang patut diacungi jempol ", tutur Maman seusai pertandingan berakhir. #Arm.  

Thursday, June 12, 2014

6 Pelajar Al Hikmah Lolos Test Beasiswa Universitas Al Ahgaff

Tarim (12/05), lagi-lagi pelajar Al Hikmah berhasil menorehkkan prestasi gemilang. Dengan kelulusan 6 santri, PP. Al Hikmah kembali dibanggakan pada pengumuman test beasiswa Universitas Al Ahgaff-Yaman yang diposting hari Senin (10/05) di website resmi milik Al Ahgaff. (www.ahgaff.edu.com).

Keenam pelajar Al Hikmah tersebut terdiri dari 4 siswa dan 1 siswi MAK Al Hikmah 2 serta 1 siswa dari MMA Al Hikmah 1. Nama- nama mereka terpampang berjejeran di urutan menyesuaikan tempat test yang dilaksanakan di Jagasatru Cirebon tanggal 1-5 Juni 2014.

"Ujiannya lumayan lah, alhamdulillah anak Al Hikmah sudah punya modal, jadi peluang lulusnya besar", ungkap Fajrin, siswi MAK yang lulus ketika ditanya selepas test.

Mereka adalah Fuad Fatkhurrahman (MMA), Wawan Ridwan, Ahmad Saifyul Millah, Lutfi Abdul Harits, Maulana Sulthoni dan Fatayati Fajrin (MAK). Mereka semua saat ini tinggal menunggu proses pemberangkatan yang akan dilaksanakan akhir Syawal. (arm)

Salam Sukses Al Hikmah Yaman..!!!    

Wednesday, April 09, 2014

Tapak Tilas Para Nabi di Negeri Yaman # Chapter 1: Nabiyullah Hud A.S.





Nama, nasab dan asal usul Nabi Hud A.S
            Beliau adalah Nabiyullah Hud A.S bin Syalikh bin Arfakhsyadz bin Saam bin Nuh bin Lamak bin Matuwsyalikh bin Akhnukh bin Idris bin Ilyarid bin bin Mihyail bin Qiynan bin  Anusy bin Syits bin Adam  shalawatullah ‘alal anbiya’ ajma’iin. ([1])
            Dituturkan oleh Ibnu Jarir dalam kitab Tarikh at Thabary bahwa beliau adalah Hud bin Abdullah bin Rabbah bin al Khalud bin ‘Ad bin ‘Aus bin Iram bin Saam bin Nuh A.S.([2])
            Nabi Hud berasal dari sebuah  qobilah bernama ‘Ad bin ‘Aus bin Saam bin Nuh. Mereka merupakan bangsa Arab yang tinggal di Al Ahqaff, yaitu pegunungan pasir yang berada di Yaman, antara Oman dan Hadhramaut,  berada di kawasan hamparan tanah yang mendekati lautan bernama Syihir dan lembah yang mereka tinggali disebut Mughits ([3])         

Sejarah Nabi Hud a.s
            Kisah Nabiyullah Hud A.S. diceritakan dalam al Qur’an sebanyak 68 ayat dalam 10 surat, diantaranya adalah Q.S. Hud ayat 50-60. Nabiyullah Hud a.s diutus oleh Allah swt. kepada Kaum ‘Ad. Mereka merupakan orang yang pertama kali menyembah berhala setelah musibah air bah atau banjir bandang yang ditimpakan kepada kaum nabi Nuh a.s. Berhala-berhala mereka terdiri dari tiga nama: Shodaa, Shomuda, dan Hira.
Kaum nabi Hud diberi kelebihan oleh Allah swt. berupa kekuatan dan keperkasaan jasmani dan watak yang keras. Karena sifat sombong dan keras kepala Kaum ‘Ad, mereka membangkang ajakan Nabi Hud untuk menyembah Allah swt karena bagi mereka penyembahan berhala-berhala itu merupakan ajaran nenek moyang sebelumnya dan tidak boleh sampai ditinggalkan. Dengan penuh kesabaran dan kelapang dadaan, Nabi Hud terus mendakwahi mereka namun tetap saja mereka bersikukuh pada keyakinan dan kepercayaannya dengan menyembah berhala.
Akhirnya kaum ‘Ad pun dibinasakan oleh Allah swt. pertama-tama dengan turunnya awan mendung yang disangka mereka akan turun air hujan sehingga bisa diminum. Padahal itu adalah awal mula turunnya siksa bagi mereka. Kemudian mulai bermunculan petir dan angin kencang secara terus menerus sampai tujuh malam dan delapan hari sampai kaum ‘Ad pun binasa.([4])

Letak Maqbarah Nabi Hud A.S.
            Lokasi makam Nabi Hud berada di daerah bernama Syi’ib Hud yang berjarak sekitar kurang lebih 80 km dari kota Tarim dan bisa ditempuh dengan kendaraan darat sekitar 3 jam.
            Letak keberadaan makam Nabi Hud a.s di Hadhramaut ini dibenarkan dengan beberapa dalil, diantaranya:
·         Firman Allah swt. yang menyebutkan :
وَاذْكُرْ أَخَا عَادٍ إِذْ أَنْذَرَ قَوْمَهُ بِالْأَحْقَافِ وَقَدْ خَلَتِ النُّذُرُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (21Q.S. Al Ahqaf : )
Artinya : “Dan Ingatlah (Hud) saudara kaum ‘Ad, yaitu ketika dia memberi peringatan kepada kaumnya di Al Ahqaf dan sesungguhnya telah terdahulu beberapa orang pemberi peringatan sebelumnya dan sesudahnya (dengan mengatakan), “ Janganlah kalian menyembah selain Allah, sesungguhnya aku khawatir kalian akan ditimpa azab hari yang besar” (Q.S Al Ahqaf: 21).
      Allah mengutus Nabi Hud a.s kepada kaumnya di Al Ahqaff dan sebagaimana diketahui bahwa Al Ahqaf ialah Hadhramaut, tempat tinggalnya kaum ‘Ad dahulu seperti yang dituturkan oleh mayoritas ulama tafsir dan pakar sejarah.
·         Riwayat Ibnu Jarir at Thabary yang mengkisahkan bahwanya Sayyidina Ali bin Abi Tholib r.a. berkata pada seorang lelaki yang datang dari Hadhramaut, “apakah kamu melihat bukit pasir merah yang tercampuri tanah liat merah dan memiliki pohon arok dan pohon bidara yang banyak di daerah ini dan ini di Hadhramaut, apakah kamu melihatnya?”, orang itu menjawab, “ Ya, wahai amirul mu’minin, demi Allah sesungguhnya tuan benar-benar menggambarkannya seperti orang yang telah melihatnya”. Sayyidina Ali pun berkata, “ tidaklah demikian, akan tetapi aku pernah diceritakan tentangnya”. Kemudian orang Hadhramaut itu bertanya,”lantas apa urusan tuan wahai amirul mu’minin?”. Sayyidina Ali menjawab, “ disana terdapat kuburan Hud sholawatullah ‘alaih”.([5])    
·         Ibnu Hisyam Al Humairy dalam kitab “At Tijan fi Muluk Humair” menuliskan bahwasanya Nabiyullah Hud a.s disemayamkan di Al Ahqaff, yaitu di suatu tempat yang bernama al Hunaibiq di samping Al Hafif. Sementara al Hafif adalah nama sebuah sungai yang Allah keluarkan air penolong dan tumbuhkan buah-buahan semenjak Allah turunkan tanda-tanda kenabian Hud a.s. dan kini sungai itu berada di dekat pemakaman Nabi Hud yang sampai sekarang masih mengalir.([6])
Dalil-dalil tentang benarnya keberadaan makam Nabi Hud a.s. bisa dilihat secara lengkap dalam kitab Nailul Maqshud fi Masyru’iyyat ziyarati nabiyillah Hud a.s. karangan al Habib Salim bin Abdillah bin Umar as Syathiry, pengasuh Ribath Tarim- Hadhramaut.
  
Ziyarah Nabi Hud A.S di Hadhramaut
            Dalam rangka mengenang jasa Nabiyullah Hud a.s ini, masyarakat Hadhramaut melaksanakan tradisi ziyarah akbar Nabiyullah Hud a.s. yang diselenggarakan setiap awal bulan Sya’ban, selama 3 hari sekitar tanggal 8-10 Sya’ban. Musim ziyarah ini biasanya dihadiri oleh ribuan peziyarah yang tidak hanya datang dari daerah Hadhramaut saja, tetapi juga para peziyarah dari luar Hadhramaut bahkan dari luar negeri Yaman.
            Ziyarah Nabiyullah Hud a.s memiliki tata cara tersendiri yang diawali dengan ziyarah ke Zanbal dilanjutkan ke Inat, tempat maqbarah Syeikh Abu Bakar bin Salim,  kemudian menuju makam Nabiyullah Hud a.s di Syi’ib Hud.
            Ziyarah biasanya dilakukan oleh perorangan atau dengan bersama-sama dengan dipimpin oleh seorang yang dituakan dari keluarga tertentu yang disebut dengan istilah Munshib. Ziyarah ‘ammah atau bersama-sama ini dilakukan dengan tata cara sesuai tradisi yang sudah turun temurun diwarisi dari leluhur.
            Pertama, peziyarah berkumpul dahulu di Sungai dekat lokasi makam-Sungai Al Hafif- Sungai tersebut dikatakan dan diyakini oleh para penduduk setempat termasuk sungai surga. Mereka mandi disana  atau hanya sekedar wudhu saja.
           
Kemudian shalat dhuha di Mesjid Syeikh Umar al Muhdhor yang lokasinya dekat sungai jika waktu ziyarah di pagi hari, atau melakukan shalat fardhu berjama’ah jika bertepatan dengan waktu shalat fardhu. Kemudian membaca surat Yasin.
            Setelah itu, rombongan bergerak menuju makam dengan berjalan kaki sambil berdzikir “Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaaha illallah allahu akbar”. Sebelum mencapai makam, rombong akan berhenti di tempat yang berbentuk sumur yang disebut dengan Bi’ruttaslim (sumur keselamatan). Di tempat ini, para peziyarah membaca salam kepada Nabi Muhammad saw, Nabi Hud a.s, para malaikat dan para nabi yang dipimpin oleh munshib.
            Kemudian rombongan kembali berjalan menuju makam. Ketika sampai di makam, rombongan kembali membaca salam lalu membaca surat Yasin atau surat Hud dan ditutup do’a yang dipimpin oleh munshib.
            Setelah selesai berdo’a, rombongan berpindah ke tempat di bawah batu besar. Tempat tersebut dinamakan Naqoh (batu besar). Di tempat ini, para peziyarah akan membaca maulid Nabi, mendengarkan syai’r-sya’ir yang berisi pujian pada Rasulullah saw. atau petuah dan nasihat. Kemudian seorang atau dua orang ulama akan berceramah dan yang lain mendengarkan sampai acara ditutup dengan do’a.

Tradisi Ziyarah Para Habaib Hadhramaut    
            Keluarga atau kabilah tertentu di Hadhramaut biasanya memiliki jadwal khusus dalam ziyarah Nabiyullah Hud ini. Diantaranya pelaksanaan ziyarah mulai pagi hari tanggal 8 Sya’ban dilakukan oleh keluarga Al Habsyi dari kota Houthoh. Sorenya dilakukan oleh keluarga Al Habsyi dari kota Seiyun.
            Pada tanggal 9 Sya’ban pagi hari sekitar jam delapan dilaksanakan ziyarah oleh keluarga Balfaqih, dan disusul oleh rombongan keluarga Al Haddad. Sorenya ziyarah rombongan kelurga Bin Hamid Ba’lawy.
            Pada tanggal 10 Sya’ban atau hari terakhir di pagi hari sekitar jam delapan ialah jadwal keluarga Bin Syihabuddin dan rombongan terakhir keluarga Bin Syeikh Abi Bakar bin Salim yang dimulai sekitar jam Sembilan dan diikuti oleh ribuan peziarah. Kemudian sore harinya tanggal 10 Sya’ban, para peziyarah meninggalkan lokasi makam kembali ke daerahnya masing-masing. # wallahu a’lam.


[1] 
[2]  Tarikh at Thabary, Ibnu Jarir At Thabary (1/216).
[3]  Qoshoshul Anbiya, Ibnu Katsir (1/125) .
[4]  Nailul Maqshud fi Masyru’iyyati ziyarati nabiyullah Hud A.S (15-47), diringkas.
[5] Tafsir Jami’ al Bayan, Ibnu Jarir at Thobary (8/507) dan diriwayatkan pula oleh Imam Al Bukhory dalam at Tarikh al Kabir (1/1/135 no. 304)
[6] At Tijan fi Muluk Humair, Ibn Hisyam al Humairy hal. 45. dan Badhoi’u at Tabut, Abdurrahman bin Ubaidillah as Segaf (1/91)

Demi Sebuah Mimpi

(An Experience and Insvirative Story)
            Mimpi adalah kunci, Untuk kita menaklukan dunia…
            Berlarilah tanpa lelah, Sampai engkau meraihnya…
(Lirik lagu “laskar pelangi” - Nidji)
            Dendang lagu ini seakan sudah tidak asing lagi di telingaku. Liriknya begitu  selaras menggambarkan titik awal dimana langkah  perjuanganku meraih sebuah impian dimulai. Ya, Berawal dari sebuah mimpi, segala bentuk cita-cita pasti bisa dicapai, asalkan berani  berusaha sekuat tekad perjuangan demi meraihnya.
Dan tulisan ini adalah sebuah kisah singkatku dalam upaya untuk bisa kuliah di belahan bumi Timur Tengah. Dimana ilmu syari’at Islam berikut penerapannya senantiasa mengalir berkesinambungan. Khazanah Islampun terasa masih jernih dan menyejukan para penuntutnya, serumpama air minum segar yang diteguk langsung dari sumber mata airnya. Murni segarnya.
Ketika mendengar Lagu itu, aku teringat pada waktu training motivation terakhir bersama guru motivator kebanggaan, Ust. Nur Fauzan, Lc. di Gelanggang Olahraga (GOR) Pon. Pes. Al Hikmah - Bumiayu. Lagu itu dilantunkan oleh beberapa siswi Malhikdua (Madrasah Al Hikmah 2, sekolahku dulu) yang ditunjuk kedepan untuk menyanyikannya. Gema gempita suaranya membahana dan menulusuri setiap celah telinga kerumunan siswa-siswi kelas akhir yang duduk berjejeran di lantai dengan setia menyaksikannya. Memang acara trainning itu biasa digelar oleh Malhikdua mengingat masa depan anak didik yang perlu dimotivasi agar menjadi generasi terbaik masa depan bangsa.
   " Serukan dengan lantang apa Universitas yang ingin kalian tuju setelah lulus! ", pekik Ust. Fauzan menyemangati seluruh murid kelas akhir.
Kala itu, akupun segera berteriak sekeras mungkin dengan menyebut-nyebut universitas di Timur Tengah yang menjadi cita-citaku. “ Damasyqi University… Dimasyqi University…”, berkali-kali suaraku menggema di tengah GOR bersama ratusan teman lainnya. Padahal sebenarnya,  aku sendiri belum begitu mengenal seperti apa Universitas Damaskus itu. Yang jelas, aku mengaguminya karena kharismatik ulama-ulama Syam yang hingga kini mendunia seperti yang telah dituturkan Ustad Muhyidin, guru Tafsirku yang jebolan alumni negeri tersebut. Dan mulai detik itu, impianku adalah “Just Study in Middle East Country”, lanjutkan kuliah di Timur Tengah”
Negeri Paman Syam dalam Imajinasi Impian Pertama
Kuliah di Timur Tengah tidaklah semulus memasukan kunci ke dalam motor lalu bisa berangkat seenaknya. Tentulah ada halang rintang yang harus dilewati. Rencana pertamaku adalah mentargetkan negara Suriah lewat beasiswa Departemen Agama.  Seandainya itu tidak bisa tembus, mungkin aku mencoba pilihan kedua, ikut test universitas Al Azhar, Mesir yang non beasiswa. That’s my choise.
Namun rintangan itu bermula muncul dari intern keluargaku. Begitu mendengar keinginanku tadi, Ibu sangat mendukungku dengan sepenuh hati. Sayangnya, Ayahku belum bisa menerima permohonanku itu. Ia serta merta malah menyuruhku untuk kuliah di dalam negeri saja. Batinku seakan terpukul. Cita-citaku sepertinya akan dihadang angin kencang. Tinggal bagaimana aku harus mengambil langkah terbaiknya.
            Sampai detik kelulusanku, Ayah masih tetap kurang setuju. Terbukti, Di tengah acara pengambilan surat kelulusan di sekolah pondok pesantrenku, akupun hanya sendirian, berbeda dengan khalayak siswa-siswi lainnya yang besanding dengan keluarga mereka menyambut kebahagiaan sang buah hatinya. Akan tetapi, hal itu tidak membuat aku putus harapan, masih ada sinar mentari yang setia menemani langkahku.
Setelah kelulusan, aku segera mencari info beasiswa negara-negara Timur Tengah yang bisa diakses melali internet. Beberapa peluang beasiswa berhasil aku temukan, diantaranya Beasiswa Ma'had Dauly lil Ulum as Syar'iyyah wal Lughoh 'Arobiyyah di Suriah, Universitas Al Azhar Mesir non-beasiswa melalui Departemen Agama, Beasiswa Sudan dan Maroko. Namun sayang, informasi Beasiswa Universitas Damaskus, Suriah nihil aku dapatkan. Hanya ada beasiswa ma’had yang notebene non-degree. Akhirnya aku putuskan untuk mencobanya saja walaupun Ma’had ( sistem pesantren) yang penting bisa ke Suriah. Mungkin dari situ, Universitas Damasqus bisa aku kunjungi juga.
Beasiswa Mesir Tak Kunjung Tiba Bersama Prahara Suriah dalam Simfoni.
Sebenarnya, sebelum aku memilih untuk mencari beasiswa Universitas Damaskus, aku sudah terlebih dahulu mencoba daftar dan mengikuti test beasiswa Universitas Al Azhar yang di sediakan Sifaroh (Kedutaan Besar) Mesir di Indonesia sebulan sebelum Ujian Nasional. Dengan beberapa ikhwan dan akhwat seangkatanku, aku mengikuti test yang bertempat di kediaman Kedutaan Besar Mesir, Jl. Teuku Umar No. 68 Menteng, Jakarta Pusat dengan ditemani oleh Ustadz pembimbing.
            Hanya bermodalkan Bahasa Arab dan Hafalan Qur'an yang baru 5 juz, aku memberanikan tekad mengikuti test yang berhadapan langsung dengan guru-guru dari Mesir. Harapan hanyalah sebuah harapan, tidak bisa terwujud melainkan atas kehendak Sang Maha Kuasa. Dan ternyata, setelah beberapa bulan memang pengumuman kelulusan beasiswa Kedubes Mesir seolah raib termakan angin, tidak ada kabar dan informasi selanjutnya, entah kemana dan mengapa? Aku tidak tahu.
Dari situ, aku lantas memilih langkah alternative berikutnya, Syiria atau Suriah. Aku tidak hanya sendiri, tapi aku juga mengajak beberapa teman seangkatan untuk ikut daftar bahkan aku sendiri yang mengkoordinir proses registrasi dan kelengkapannya  lalu diserahkan ke Kantor Direktorat Pendidikan Diniyyah dan Pondok Pesantren (Ditpdpontren) di Gedung Kementerian Agama Pusat- Jakarta. Sayangnya, Beasiswa itu non-degree, yaitu berupa program study beasiswa 4 tahun bagi santri pesantren di Ma'had Dauly li Ulumi as Syari’ah wal ‘Arobiyyah, Syiria. (Ma’had Internasioanl untuk Study Ilmu Syari’ah dan Bahasa Arab) yang diadakan oleh Kementerian Wakaf Republik Arab Syiria.
Setelah ketujuh peserta Al Hikmah mengikuti Test di Kanwil Depag Semarang, seminggu berikutnya pengumuman hasil ujian dimuat secara online di internet. Berita bahagia itu tersiar lewat tulisan dalam bentuk tabel yang menyatakan semua peserta santri Pon. Pes. Al Hikmah lolos beasiswa Ma’had Dauly tersebut. Kabar itu sampai terdengar di telinga guru-guru dan kepala madrasah. Sampai akhirnya, kami bertujuh dipanggil KH. Mukhlas Hasyim, MA, sebagai bapak kepala Malhikdua. Ketika itu, aku yang sebagai koordinator teman-teman berhalangan sedang mengurusi acara Haflah Khotmil Qur’an 2011. Jadinya, aku tidak tahu adanya pemanggilan itu. Yang jelas, isi dari maksud dipanggilnya kami bertujuh adalah melarang keras melanjutkan study di Suriah. Alasan utama Abah Mukhlas melarang kami yaitu karena Suriah merupakan negara monarki yang sangat otoriter. Penguasanya adalah rezim sang raja yang absolut. Militerpun wajib patuh pada setiap perintahnya yang mengandung unsur Syi’ah. Walaupun Negaranya bermayoritas Sunni, tapi kepemimpinan orang Syi’ah bisa memonopoli laju kehidupan disana. Sering terjadi pembunuhan masal, pengeboman, perang antara penduduk dan tentara militer, dan banyak lagi kebiadaban pemerintah yang tidak sampai terekspose media. Akhirnya, kami pun manut dan meng-cancel beasiswa untuk ke Suriah itu, mengingat kekhawatiran beliau demi keamanan anak-anak didiknya.
Bepetualang Demi Peluang Study di Negeri Seribu Benteng
Ibuku yang percaya penuh pada keinginan dan kemampuanku merasakan kegalauan sang buah hatinya. Dimana aku masih terombang-ambing mau kuliah kemana?. Konflik keluargapun kerap terjadi antara ibu yang penuh mendukungku study ke Timur Tengah dan ayah yang masih serta merta menginginkaku kuliah di dalam Negeri saja. Aku sendiri belum mendapat pencerahan kemana masa depanku untuk kuliah di Timur Tengah?
            Kemudian Ibuku menyarankanku untuk pergi ke Surabaya, guna meminta rekomendasi dari KH. Asep Saefullah, Pengasuh Pon. Pes. Amanatul Ummah, Surabaya yang biasa memiliki relasi untuk beasiswa Maroko. Mungkin beliah bisa membantu karena sama-sama dari asli pribumi desaku. Hal seperti ini pernah juga dilakukan oleh seorang tetangga perempuan yang juga kakak kelasku. Dan akhirnya berhasil berangkat ke Maroko. 
Dengan ditemani seorang ustadz kerabat Kyai Asep yang tinggal dekat rumahku, aku  pun mengindahkan anjuran Ibu. Segala keperluan telah Ibuku siapkan dari perbekalan, ongkos dan uang pegangan untuk kami berdua. Aku tinggal di pondoknya Kyai Asep sampai satu mingguan. Di tengah kesibukan Kyai Asep, aku akhirnya dipertemukan dengannya. Beliau berkata, “ Man, nek kepingin marang Maroko melalui jalur pondok iki  yo kudu ngabdi desek sataun bari ngenteni proses legalisasi Ijazah karo persyaratan-persyaratane”. Akupun hormat dan ta’dzim pada penuturannya. Namun bagiku, mengabdi satu tahun di Surabaya bagiku terasa berat dan belum tentu kedua orang tuaku bisa mengizinkannya. Sementara aku sendiri ingin segera berkuliah.
The Spirit of Yemen
            Dalam perjalanan kereta dari Surabaya menuju pulang, aku duduk termenung. Kedua bola mataku mengkristalkan air mata, maratapi nasib kemana aku harus melangkah. Hatiku gundah. Namun sekilas aku terbesit, Negara Yaman. Ya, program beasiswa Yaman belum aku coba, aku terpikir sejenak tentang Gus (Putra Kyai) Pon. Pes. Al Hikmah yang merupakan alumni Yaman. Tak ada salahnya aku mencoba. Lantas perjalanan pulangku menuju rumah aku urungkan, segera aku berkirim SMS kepaada Ibu bahwa aku akan pulang ke pesantren dulu untuk sowan ke Abah Yai Masrur, Pengasuh Pon.Pes. Al Hikmah, meminta pencerahan beliau tentang kuliah di Negeri Saba’ itu.
Setibanya tengah malam di pesantren, aku dikabari seorang teman bahwasanya telah dibuka test beasiswa Universitas Al Ahgaff Yaman yang bertempat di Bogor. Persyaratannya berupa fotocopy SKHU, Photo berwarna, dan Surat Rekomendasi Pondok Pesantren.
Esok paginya, Aku segera menyiapkan persyaratan dan mendatangi kantor pondok guna meminta dibuatkan surat rekomendasi pada pengurus bagian sekretaris di pondok. Sesaat kemudian aku berjalan kaki memasuki dalem Abah Yai dengan membawa sehelai stopmap berisikan Surat Rekomendasi. Akhirnya, beliaupun merestui dan mendukung sepenuhnya niatku mengikuti test beasiswa Al Ahgaff. Tadinya aku tidak yakin mengikuti test Yaman, tapi pesan Abah Yai Masrur menguatkan niat dan keyakinanku. “ Yaman itu negerinya para wali, disana kamu bisa belajar Fiqih Syafi’I murni dari sumbernya. Niatkan yang suci untuk menuntut ilmu”, tutur beliau. Dan Sore harinya aku langsung bergegas meluncur ke Cipayung, Bogor.
Restu dan do’a guru memang membawa keajaiban. Manakala aku membuka pengumuman dan info test di warnet dekat rumah, Aku tersentak kaget, aku dinyatakan lulus dan layak mendapatkan beasiswa Universitas Al Ahgaff Yaman. Sujud syukur bahagia mendengar berita itu yang dilayangkan langsung dari Pengurus Yayasan Al Ahgaff Indonesia. Aku langsung mengabari ibu dan ayahku di rumah. Mereka berdua bahagia namun tidak sebahagia ayahku yang tetap kurang menyutujuiku. 
Hikmah di Balik Tirai Perjuangan  
            Perjuangan haruslah disertai strategi dan planning alternative. Tanpa adanya itu, usaha bisa jadi akan sia-sia, apalagi ketika seorang langsung putus asa dan lemah harapan. Aku sendiri tidak mengandalkan satu peluang saja, namun aku juga menjajahi beberapa peluang alternatif untuk bisa sampai Timur Tengah meski dengan berbagai halang rintang dan cobaan. Dan semua itu berawal dari tekad yang kuat untuk niat menuntut ilmu.
            Setelah mengikuti test Beasiswa Al Ahgaff, aku juga ikut mendaftar di satu perkuliahan strata Universitas Timur Tengah, namun berdomisili di dalam negeri, yaitu STAI Imam Syafi’I, Cianjur dengan rektor seorang pakar yuridis, Prof. Dr. Muhammad Hasan Hithou. Aku pun memilihnya karena pertimbangan sama seperti halnya kuliah di Timur Tengah dengan basis bahasa Arab dan ilmu syari’at Islam.
            Aku menemui banyak hikmah yang bisa ku petik dari perjuangan ini. Pertama, tidak jelasnya pengumuman Mesir membuat aku sungkan. Ketidak jelasannya itu memang berawal dari manajemen kedubes Mesir yang kurang tertata, ditambah gejolak politik pemerintahannya yang semakin berkecamuk sejak reformasi masa presiden Housni Mubarok kemudian Muhammed Mursi,  hingga banyak menewaskan ribuan korban jiwa. Kedua, Suriah pun sama. aku membatalkan beasiswa Suriah meski sudah dinyatakan lulus. Besar kemungkinan aku akan bernasib sama seperti teman-temanku yang sudah dipulangkan selamanya akibat konflik rezim pemerintahan rajanya, Bashar Asaad. Otortiter pemerintah dan militernya memporak-porandakan rakyat terutama kaum oposisi dan pemberontak hingga korban jiwa pun bergelimpangan dimana-mana, terutama di ibu kota Damaskus yang aku citakan itu. Ketiga, Maroko. Aku tidak mengambil beasiswa dari pondok di Surabaya, karena setelahnya ternyata ada pengumuman beasiswa Maroko lewat Depag RI, dimana syarat utamanya adalah nilai ujian nasional. Sebenarnya, akupun sudah termasuk kriteria persyaratannya, namun aku lebih memilih Yaman setelah pengumuman kelulusannya dilayangkan dan aku malah memberi kesempatan itu untuk temanku yang juga berkeingin kuliah di Maroko.
            Hikmah yang paling utama adalah adanya aku sekarang di Universitas Al Ahgaff Yaman. Aku menemukan cita rasa menuntut ilmu yang baru disini dengan segala rupa keunikan dan kekhasan bumi Hadhramaut, khususnya sebagai tempat asal muasalnya walisongo. Hikmah perjuangan ini sesuai hadits Baginda Rasulullah SAW, “ Al fiqhu yamani wal hikmah yamaniyyah “(Fiqih itu ada pada penduduk Yaman, dan Hikmah terletak pada orang Yaman). HR. Al Bukhori dan Muslim. Wallahu a’lam. #